Hingar-bingar dunia hiburan memberi warna baru bagi kehidupan Gusti. Ia tidak berada di puncak hirarki, ia justru berada pada tingkatan paling bawah di dunia tersebut. Tapi memasukinya saja sudah merupakan jalan berbunga. Gusti mantap. Ia ingin menjadi salah satu dari mereka yang dipuja-puji, dikagumi, dan dibicarakan karena tampil di layar-layar dan di panggung-panggung.
Menik memberinya jalan berbunga itu. Posisinya sebagai staf talent di stasiun tivi memudahkannya untuk membawa Gusti masuk sebagai penonton bayaran pada berbagai acara ragam. Dari sana, Gusti mengenal banyak pekerjaan lain dan kesempatan lain yang tentunya masih berhubungan dengan dunia hiburan.
“Mau mencoba ini?” Menik menyodorkan brosur. Keduanya sedang makan siang selepas Gusti hadir sebagai penonton di sebuah acara talkshow. Beberapa minggu berlalu-lalang di stasiun tivi di mana Menik bekerja, Gusti dengan mudah bisa mendapatkan pekerjaan di stasiun tivi lain. Ia mudah bergaul di saat-saat seperti itu. Koneksinya berkembang dengan cepat.
“Aku sudah mendaftar.” Gusti tersenyum memandang brosur itu.
“Oh ya?”
“Besok aku mulai pemotretan.”
“Eh, yang bener?”
Gusti mengangguk. Wajahnya cerah. Mata, mulut bahkan hidungnya seolah tertarik ke belakang terus menerus. Wajah itu tak berhenti tersenyum.
Wajahnya memiliki daya pikat tersendiri. Ketampanannya makin terlihat di usianya yang ke dua puluh dua. Tingginya seratus delapan puluhan. Kulitnya cenderung putih, bukan sawo matang, mengingat dia berasal dari daerah dan orang jawa tulen. Ia rajin merawat diri bahkan melebihi kebiasaan para wanita. Maka wajar, jika ia dengan mudah bisa memasuki dunia model.
Pekerjaan pertamanya di dunia permodelan adalah menjadi model untuk pakaian outdor. Bayarannya tinggi, tapi Gusti mundur di tengah jalan sebab ia tak sanggup mengikuti ritme kerja dari agensi khusus pakaian outdor itu. Pengambilan gambar sering dilakukan di luar ruangan, bahkan di tempat-tempat ekstrem. Gusti tak suka. Ia benci tanah liat yang mengering ditubuhnya. Berkegiatan di alam sama sekali tak cocok dengannya. Dua bulan bekerja, Gusti memilih mengundurkan diri.
Pekerjaan lainnya ia dapat dari Menik. Kali itu ia menyukainya. Ia menjadi model pakaian renang. Gusti senang memamerkan tubuhnya bila diperlukan, asal ditempat yang semestinya. Berbeda seperti saat ia dipaksa melepas pakaian di depan puluhan santri saat berjejal mandi di pinggiran kulah, melepas pakaian untuk pemotreran malah menyenangkan bagi Gusti. Ia menikmatinya. Ia mengagumi betapa indah lekuk tubuhnya sendiri ketika foto-foto dirinya mejeng di majalah.
Ia makin terobsesi dengan kesempurnaan bentuk tubuh ketika orang-orang mulai melontarkan pujian. Untuk mempertahankan bahkan membuatnya terlihat lebih sempurna, Gusti keranjingan ke luar-masuk pusat kebugaran. Dunianya kini betul-betul berubah. Hingar-bingar kehidupan orang-orang yang berada jauh di atas dirinya -baik ekonomi maupun karir- membuatnya iri dan ingin cepat-cepat mensejajarkan diri dengan mereka.
Kehadiran Menik tentu mempermudah langkah awalnya. Hubungan keduanya makin baik. Gusti menerima banyak bantuan dan mulai mengerti apa arti timbal balik. Ia menganggap Menik sebagai manusia yang bermanfaat dan sebisa mungkin, manfaat itu tak cepat memudar dari kehidupannya seperti manfaat hubungannya dengan manusia-manusia lain sebelum Menik.
Menik memperlakukan Gusti seperti adiknya sendiri. Wanita itu sudah merasakan kehilangan yang luar biasa dahsyat hingga mengubah sembilan puluh persen cara hidup dan pandangannya terhadap kehidupan. Sayang, perubahan pandangan itu belum terjadi ketika wanita itu membangun kehidupan rumah tangganya.
Menik dan mantan suaminya bercerai ketika pernikahan mereka bahkan belum menginjak usia satu tahun. Kondisi mentalnya amburadul setelah kehilangan seluruh anggota keluarga secara berturut-turut. Akibatnya, mental orang yang paling dekat dengannya pun ikut terseret menuju jurang depresi yang berkepanjangan.
Menik sempat terperosok ke dalam dunia kelam ibu kota. Duka menjadi alasan baginya untuk melakukan semua hal yang tak seharusnya ia lakukan. Ia merusak dirinya sendiri hingga titik yang tak bisa dianggap remeh. Ia nyaris mati akibat overdosis minuman keras pada suatu malam di sebuah diskotek. Siangnya, ia bekerja, tersenyum, tertawa, mengobrol, seolah tak pernah terjadi tragedi apapun di dalam hidupnya. Di lain hari, ia nyaris menjadi pelacur karena teler bersama orang asing yang baru dikenalnya di jalan. Pada saat itulah, mantan suaminya hadir sebagai sosok pangeran berkuda putih. Ia pikir, bersama sang pangeran akan membuatnya lupa bahwa ia sedang tenggelam dalam kubangan duka yang begitu dalam.
Menik selalu menjatuhkan hatinya kepada laki-laki yang jauh lebih muda darinya. Ia benar-benar gambaran sulung di dalam sebuah keluarga. Ia mewajibkan dirinya untuk terlihat tangguh meskipun jiwanya rapuh. Ia berusaha menjadi putih di depan adik-adik dan keluarganya, meskipun pikirannya penuh dengan rasa penasaran akan hal-hal tabu. Ia menahan diri untuk tidak menjadi contoh buruk bagi adik-adik dan juga orang tua yang selalu menggantungakn harapan pada dirinya. Akibatnya, Menik merasa hidup ketika ada orang-orang yang bergantung kepada dirinya. Ia merasa hidup jika ada yang mengandalkannya. Tapi setelah semua keluarganya pergi, apa yang harus ia lakukan di dalam hidupnya?
Menik mengajak kekasihnya yang masih duduk di bangku kuliah untuk menikah. Alasannya sederhana, agar ia bisa memiliki tanggungjawab lebih terhadap hidup kekasihnya itu. Tapi Menik tak paham bahwa perasaan haus tanggungjawabnya itu sedang menggerogoti mentalnya. Mekanisme jiwanya membentuk perisai atas serangan depresi yang ia derita. Bahkan ia sendiri tidak menyadari bahwa depresi sedang mengintai kesehatan jiwanya.
Pacar mudanya yang sudah telanjur jatuh cinta tak menolak ajakan menikah yang impulsif. Hari-hari penuh madu hanya terjadi kurang dari sebulan. Sisanya, kehidupan pernikahan terasa seperti medan perang karena Menik tak pernah puas dengan apa yang suaminya lakukan.