Pukul delapan pagi, keheningan rutin mengunjungi rumah tua peninggalan orang tua Leo. Empat penghuninya tenggelam dalam keriuhan kerja masing-masing. Zizi menjadi yang paling awal berangkat bekerja. Kemacetan Jakarta memaksanya berangkat satu jam lebih awal sebelum jam kerjanya dimulai. Pukul tujuh, kamar Zizi sudah pasti kosong.
Leo menduduki peringkat kedua. Kantornya tidak terlalu jauh dari rumah karena ia memang menghitung jaraknya dengan cermat sebelum mendaftar di sana. Cara berhemat lelaki itu tidak pernah main-main. Mobil jip tuanya jarang digunakan. Ia memilih berjalan kaki demi menghemat biaya transport dan tak pernah asbsen membawa bekal untuk makan siang di kantor.
Pukul enam pagi, Suhita sudah pasti berada di dapur untuk memasak sarapan bagi seluruh penghuni. Sebab itulah pekerjaannya beberapa bulan ini. Mereka sepakat membebaskan Suhita dari iuran makan hingga waktu yang tak ditentukan. Pembebasan itu melahirkan kebijakan baru. Suhita wajib memasak sarapan untuk mereka semua. Kedua belah pihak menikmati kebijakan baru tersebut. Suhita lega dan teman-teman serumahnya senang.
Setelah Leo dan Zizi berangkat bekerja, Suhita masuk ke dalam kamarnya. Kamar itulah tempatnya bekerja selama belasan jam setiap harinya. Ia keluar hanya ketika kandung kemihnya penuh dan lambungnya kosong. Proyek novel pertamanya membuat Suhita begitu bersemangat. Hari-harinya tenggelam dalam kehidupan lain yang ia bangun di dalam novel tersebut. Kepulangan Leo selalu menjadi penanda bahwa sudah saatnya untuk ia ke luar dari dunia ciptaanya.
“Aku pulaaang!” Leo selalu memberi tanda bahwa ia sudah berada di rumah. Sebab, beberapa kali, Suhita nyaris pingsan karena terkejut oleh kehadirannya yang tanpa tanda. Gadis itu tampak selalu waspada dan mudah sekali terkejut. Leo tak ingin mengulangi kesalahannya.
Zizi sering sekali lembur. Dalam seminggu, ia bisa lima kali lembur. Ia selalu berangkat paling awal dan selalu menjadi yang terakhir pulang. Kadang, saat tubuhnya tak lagi sanggup menahan lelah dan kantuk, ia memilih tidur di rumah kolega yang tempat tinggalnya dekat dengan kantornya.
“Riri belum pulang juga?” Leo bertanya pada siapapun yang mendengar pertanyaannya. Ia tak langsung pergi ke kamar untuk membersihkan diri. Setiap pulang kantor, Leo memilih merebahkan diri selama setengah jam di sofa ruang tengah. Ruangan itu terletak tepat di depan kamar Suhita.
“Belum, Mas.” Suhita menyahut dari dalam kamar sebab gadis itu lah satu-satunya penghuni yang mendengar pertanyaan Leo.
“Ke mana lagi anak itu,” Leo menggerutu. Matanya terpejam. Jalanan jakarta yang riuh dan kisruh, menguras banyak energinya.
“Mas sudah makan?” Suara Suhita membuat Leo membuka mata. Ruangan itu gelap sebab lampunya jarang dinyalakan jika tidak ada aktifitas. Ia mencari-cari sosok gadis itu. Tapi ia hanya menemukan bagian kepalanya saja yang menyembul dari balik pintu kamar.
“Kamu sudah makan?” Leo balik bertanya. Ia berusaha untuk duduk.
“Belum. Aku tidak tahu tiba-tiba hari sudah gelap. Siangku hilang begitu saja.”
“Artinya kamu mencintai pekerjaamu.”
Leo beranjak. Ia menekan saklar lampu. Mata Suhita menyipit menangkap cahaya terang yang datang tiba-tiba. “Kamu selalu bekerja gelap-gelapan begitu?” Leo melongkok kamar Suhita.
“He he, gelap membuatku lebih fokus.”
“Mari makan setelah aku mandi.” Leo berjalan ke kamarnya. Tak lama kemudian, ia keluar untuk menuju kamar mandi. Suhita terlihat duduk termangu di depan kulkas.
“Ngapain kamu?”
“Aku bingung mau makan apa. Mba Zizi tidak pulang malam ini, jadi aku tidak bisa menentukan mau masak apa untuk makan malam.”
Ada perasaan aneh saat Leo mendengar bahwa Zizi tidak akan pulang malam itu. Setelah peristiwa perayaan beberapa minggu yang lalu. Pikiran Lelaki itu selalu kembali pada peristiwa di mana tubuhnya dan tubuh Suhita bertabrakan. Perasaan aneh yang baru saja ia rasakan sangat mirip dengan perasaan pada malam perayaan itu.
“Aku saja yang masak, tapi tunggu ya. Aku mau mandi dulu.” Leo buru-buru masuk ke dalam kamar mandi. Sepanjang kegiatannya di kamar mandi, Leo tak berhenti memikirkan soal perasaan anehnya pada Suhita yang kian hari kian menjadi. Ia tahu bahwa perasaan tersebut mungkin saja sebuah petanda bahwa ia menyukai gadis itu. Tapi mengapa ia harus menyukai Suhita ketika ada banyak gadis lain yang menyukainya? Leo belum menemukan jawabannya.
Leo mengakui bahwa mata bening Suhita menarik perhatiannya pada saat mereka pertama kali bertemu. Senyum Suhita yang selalu tampak ragu-ragu membuatnya penasaran perkara apa yang sebenarnya terjadi di dalam hidup gadis itu. Dan anehnya, akhir-akhir ini, Leo menyukai wajah Suhita yang cemberut karena hal-hal kecil yang disebabkan oleh dirinya. Leo suka gadis itu merengek kepadanya. Suara manja Suhita membuatnya ingin menarik tubuh gadis itu masuk ke dalam pelukannya. Dan pelukan itu...,
“Ada orang di dalam?” pintu kamar mandi diketuk. Suara Riri membuyarkan pikiran Leo sekaligus membuatnya kesal. Untuk pertama kalinya, ia tak senang dengan kepulangan Riri ke rumah.
“Ada!” Leo menjawab dengan suara keras.
“Woy! Santai aja bro.” Riri menendang daun pintu sebagai respon atas jawaban Leo yang terdengar nyolot. Sementra Leo makin kesal saat mendengar Riri dan Suhita mengobrol sambil cekikikan tanpa dirinya. Buru-buru, lelaki itu menyelesaikan aktifitasnya di kamar mandi.
Mereka bertiga memutuskan memasak mie rebus setelah melalui diskusi yang cukup panjang. Suhita senang-senang saja karena ia selalu suka dengan mie rebus. Leo ragu karena dua hari lalu, ia baru saja makan makanan tak sehat itu, sedangkan Riri keberatan, sebab ia akan melakukan perjalanan menuju Gunung Gede setelah makan malam. Mie instan bakal menjadi makanan sehari-harinya dalam beberapa hari ke depan.
“Yes! Mie rebus saja!” Leo mantap setelah mendengar keluhan Riri. “Jadi kamu berangkat malam ini juga?” lanjutnya.
Suhita mengeluarkan tiga bungkus mie instan dari kulkas. Leo menyiapkan air rebusan. Riri mengangguk menjawab pertanyaan Leo.
“Bagus. Aku dengar, naik gunung memang lebih bagus dilakukan saat malam hari.”
“Ngawur. Besok pagi aku baru naik. Malam kan cuman perjalanan ke basecampnya.”
“Ah, begitu ya. Tak masalah. Yang penting, perjalanan malam memang selalu yang terbaik. Semangat!” Leo tertawa gembira. Ia melanjutkan kegiatan memasaknya dengan penuh semangat. Saat ia tertawa, matanya selalu melirik ke arah Suhita.
Pukul delapan malam, Riri pamit. Suhita dan Leo bersantai di ruang tengah setelah membereskan dapur. Semangat Leo berubah menjadi perasaan gelisah. Pikirannya kacau. Ia adalah lelaki berusia dua puluh lima, nyaris dua puluh enam. Ia pikir, wajar jika perasaanya campur aduk pada saat duduk berdua saja dengan lawan jenis. Tapi benarkah perasaan campur aduk tersebut tidak memiliki arti apa-apa? Sebab ia tak merasakan apapun ketika duduk berdua dengan Zizi.
Ia jelas menyukai Suhita. Sebagai lelaki dewasa, perasaan suka tentu tidak berhenti sampai di sana. Berduaan dengan wanita yang disukai menimbulkan perkara lain. Perkara ini membuatnya bimbang. Suhita adalah gadis yang awalnya ia anggap sebagai adiknya sendiri. Secara etika, ia merasa tak pantas untuk menjalin hubungan asmara dengan Suhita. Apa yang akan dikatakannya kepada Suster Ema? Selain itu, bagaimana ia tega melakukannya kepada Suhita? Jika gadis itu ternyata menyukainya juga, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa yang akan Leo lakukan sementara ia tak bisa menjanjikan apa-apa bahkan hubungan fisik sekalipun? Sebab ia tahu penyakit yang diderita oleh Ibunya jelas-jelas sudah bersarang di dalam tubuhnya, bahkan sejak ia masih berada di dalam kandungan.
Sejauh ini, Leo mampu menahan untuk tidak menyukai dan mencintai siapapun karena penyakit itu. Tapi akhir-akhir ini, jantungnya terasa seperti mau meledak tiap kali ia berduaan dengan Suhita. Gawatnya, Suhita pun merasakan hal yang sama. Gadis itu jatuh cinta kepada Leo, bahkan sejak pertemuan pertama mereka.
“Tadi siang aku lihat kalender. Tidak terasa, ternyata aku sudah sembilan bulan tinggal di sini. Waktu begitu cepat,” ucap Suhita memecah keheningan ruangan itu. Telivisi tak dinyalakan. Sejak tadi, mereka tidak melakukan apapun selain bermain ponsel masing-masing. Ponsel itu pun hanya menjadi pelarian atas pikiran mereka yang tak karuan.
“Apa pendapatmu tentang aku saat kita pertama kali bertemu?” Leo nekat membuka obrolan yang mendalam soal mereka berdua. Suhita menjawabnya dengan hati-hati.
“Mas baik banget. Aku tak tahu akan menjadi seperti apa kehidupanku di Jakarta jika tidak dibantu oleh Mas Leo.”
“Selain itu?” Leo menginginkan jawaban lain. Tapi ia sendiri tak tahu jawaban seperti apa yang ia tunggu dari gadis itu.
Suhita sibuk berpikir. Leo mengamati wajah gadis itu. Kini, ia pun menyukai raut wajah Suhita saat gadis itu sedang memikirkan sesuatu.
“Ada sesuatu di wajahku, ya?” Suhita menyadari tatapan tak biasa dari Leo.
“Ya,” jawab Leo singkat. Tiba-tiba, Suhita merasa ragu untuk melanjutkan pertanyaan setelah jawaban singkat itu keluar. Seharusnya, ada pertanyaan lanjutan untuk Leo setelah jawaban itu. Tapi Suhita merasa hatinya mungkin tak siap untuk mendengar jawabannya.
“Kamu tidak bertanya ada apa di wajahmu?” Leo terus memancing percakapan ke arah yang ia sendiri tak yakin bisa mengatasinya. Ia bimbang dan merasa harus menghentikannya. Tapi nalurinya begitu kuat. Naluri untuk mencintai dan dicintai. Pun dengan Suhita.