Orang-Orang Yang Kubunuh

Magnific Studio
Chapter #26

Senyuman Manis Suhita

Enam bulan Suhita bergelut menyelesaikan novel pertamanya. Di dalam fiksi buatannya itu, Ia banyak menempatkan pengalaman hidupnya sendiri. Kadang-kadang, ia merasa pengalamannya yang tidak membahagiakan nyatanya memiliki manfaat juga. Ia pernah bertanya pada kekasihnya, Leo. “Jika jalan hidupku benar-benar berbeda dari hidupku yang sekarang. Apa mungkin kita bisa bertemu, Mas?”

“Tentu saja. Setelah aku pikir-pikir, jalanku pasti tetap mengarah kepadamu, di manapun kamu berada.”

“Gombal banget sih!” Suhita mencubit pinggang kekasihnya. Leo meringis, pura-pura kesakitan. Mata Leo kembali fokus pada sebundel naskah yang berada ditangannya. Besok, naskah itu akhirnya akan diterbitkan setelah sebulan lebih mengalami penyuntingan di sana-sini. Dan Leo menjadi pembaca pertama, bahkan jauh sebelum naskah itu sempurna.

“Kamu hebat bisa menulis kisah yang luar biasa ini. Walau kadang-kadang aku sedih. Aku was-was tiap kali kamu menuliskan kata mati atau bunuh diri.”

Suhita merenung. Sebab ia sendiri takut mengakui pada Leo bahwa setiap rasa sakit yang ia lukiskan melalui perasaan tokoh utama di dalam novelnya itu adalah gambaran dari rasa sakit yang ia rasakan selama ini. Tak dipungkiri, beberapa kali di dalam hidupnya, gadis itu ingin mati untuk membuktikan keyakinannya sendiri. Ia ingin memastikan bahwa ibunya benar-benar sudah berada di sisi Tuhan.

“Semua itu hanya fiksi, Mas. Karangan belaka. Masa kamu tidak bisa membedakannya.” Suhita berbohong demi melegakan perasaan kekasihnya. Tapi lelaki itu sama sekali tak lega.

“Ah! Aku mau minta hadiah ya, Mas.” Suhita mengganti topik pembicaraan.

“Hadiah?” Leo meletakan naskah itu. Ia kemudian barbaring dan meletakan kepalanya di pangkuan Suhita. Matanya lembut menatap Mata Suhita yang nampak hati-hati untuk menjawab pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. “Hadiah apa?” tanyanya lagi sebab ia tak sabar. Alih-alih menjawab, Suhita menundukan kepalanya lalu menciumi bibir Leo.

Dua anak manusia yang sedang kasmaran itu nyaris melupakan semua permasalahan orang-orang di sekitar mereka. Zizi memutuskan pindah satu bulan setelah Leo dan Suhita berpacaran. Dengan keahlian bersandiwaranya, dua sejoli itu tidak curiga sedikitpun mengenai alasan kepindahan Zizi yang sebenarnya.

Riri diwisuda tak lama setelah kepindahan Zizi. Bocah pecinta alam itu memilih Indonesia Timur sebagai tempat bertualang baru. Sedangkan Leo tak kecewa sedikitpun meski ia kehilangan dua orang penyewa sekaligus. Sebab pemuda itu sedang dimabuk asmara.

Selepas kepergian mereka berdua. Leo dan Suhita bersikap seperti sepasang pengantin baru. Mereka bebas meluapkan perasaan cinta yang begitu menggebu-nggebu. Gairah masa muda membuat mereka melakukan apapun, kecuali satu hal: Ia tak pernah meniduri Suhita sebagaimana mestinya. Leo selalu berhenti pada satu titik.

Suhita yang naif dan tak berpengalaman tidak mencurigai apapun pada awalnya, tapi makin lama, gadis itu menginginkan lebih. Ia mulai bertanya-tanya mengapa Leo tak pernah tuntas ketika mereka sedang berhubungan fisik. Pikiran Suhita yang naif pun mengira bahwa Leo tak ingin merusak kesuciannya.

Suhita telah mantap memutuskan. Bahwa Leo lah satu-satunya lelaki yang bisa menyentuhnya. Dan ia berniat mengatakannya pada lelaki itu sesegera mungkin. Ia ingin tidur dengan kekasihnya. Ia ingin perayaan yang sempurna di hari yang membahagiakan, hari di saat novel pertamanya akan terbit.

Leo terpaku setelah mendengar Suhita membisikan hadiah apa yang diinginkan oleh gadis itu. Pikiran pemuda itu kacau. Keinginannya untuk tidur dengan Suhita tentu jauh lebih besar daripada Suhita sendiri. Semua lelaki menginginkan hal tersebut. Tapi makin besar rasa cintanya kepada Suhita, makin besar pula keraguannya untuk melakukannya.

Ironi mencekiknya. Suhita memintanya sebagai sebuah hadiah, tetapi gadis itu akan menerima petaka alih-alih hadiah. Dan Leo sama sekali tak percaya dengan alat pencegahan. Resiko penularan tetap ada. Perasaan cintanya pada Suhita sudah terlampau besar hingga ia tak bisa mengabaikan resiko sekecil apapun.

“Aku...,” Pancaran keraguan jelas terbaca dari wajah Leo. Suhita buru-buru menimpali sebelum lelaki itu menolaknya.

Lihat selengkapnya