“Ooom, Gus!” Gadis kecil itu berlari ke pelukan Gusti. Langkahnya sudah mantap, tak lagi oleng seperti saat pertama kali mereka bertemu, sebab Suhita masih berusia tiga tahun saat itu. Kini, usia Suhita sudah lima tahun. Bicaranya makin banyak, pipinya makin tembem, bulu matanya makin lentik, rambutnya makin panjang dan senyumnya makin manis.
Lama Gusti tak mampir untuk bermain dengan Suhita. Ia sibuk bekerja sana-sani, menekuni dunia akting yang sulit sekali ditembus. Ia banyak mendapatkan peran untuk film-film pendek atau indie, sebab wajah Gusti memiliki fitur yang unik. Begitu kata mereka.
Sayangnya, ia tak pernah diminta bermain peran untuk kedua kalinya oleh sutradara yang sama. Akting lelaki itu tidak memuaskan mereka. Andi, kekasih barunya menyarankan Gusti untuk mengambil kelas akting. Ia menimbang-nimbang di tengah rasa ketersinggungan. Untuk mengurangi rasa dongkol akibat beberapa kali dikritik karena kemampuan aktingnya yang buruk, Gusti memikirkan Suhita.
Bermain dengan gadis kecil itu selalu menyenangkan. Keduanya tenggelam dalam gelak tawa dan ocehan tak berujung ketika bertemu. Menik geleng-geleng kepala melihat tingkah dua orang yang disayanginya itu.
“Kalau kamu sangat senang bersama Suhita, mengapa jarang sekali datang akhir-akhir ini?” tanya Menik. Ia meletakkan nampan berisi potongan buah semangka di atas meja. Suhita langsung mencomotnya karena semangka adalah buah kesukaanya. Gusti tak mau kalah, ia mengambil dua potong. Selanjutnya, Suhita hendak mengambil beberapa potong lagi untuk mengalahkan Gusti, tetapi Menik memelototi anak perempuannya. “Suhitaaa...!” tegur Menik dengan nada mengancam.
Suhita mundur menjauhi meja, lalu duduk di pangkuan Gusti. “Kamu kalah,” ejek Gusti. Gadis kecil itu merengut. Mulutnya penuh melahap buah semangka.
“Andi menyuruhku masuk kelas akting.”
Mendengar Gusti menyebut nama kekasihnya. Menik tersenyum kecut sebelum menanggapi pernyataan itu.” Untuk apa?” tanyanya.
“Mereka bilang aktingku kurang bagus.”
“Mereka atau hanya Andi yang bilang?” Nada bicara Menik terdengar seperti sebuah sindiran.
Gusti mengelap mulut Suhita yang berlepotan. Kerah dan baju bagian depan gadis itu berwarna merah akibat terkena air buah semangka. “Kamu jorok, ih,” ejek Gusti. Ia tak menanggapi sindiran Menik.
Gusti paling tidak suka ketika wanita itu berbicara sinis mengenai hubungan asmaranya. Tapi ia selalu menemukan cara untuk memanfaatkannya. Lambat laun, lelaki itu menerima fakta bahwa Menik menyukainya. Menghindar hanya akan menjauhkannya dari keuntungan. Menik bisa menjadi sangat loyal, dan Gusti belum siap untuk meninggalkan kelucuan gadis kecil bernama Suhita.
“Menurut Mba bagaimana?”
Menik adalah jenis manusia yang merasa hidup jika ada seseorang yang mengandalkannya. Mendengar Gusti bertanya seolah keputusan lelaki itu bergantung pada jawabannya, Ia menjadi bersemangat. “Lakukan saja selama hal itu positif, Gus. Kebetulan aku punya kenalan yang bekerja di sekolah akting.”
Gusti puas, wanita itu terjebak ke dalam rencana manipulatifnya. Dengan sedikit dorongan lagi, lelaki itu akan membuat Menik membayari sekolah aktingnya. “Kenalan Mba Menik luar biasa, ya. Ada saja koneksinya,” Gusti memuji secara halus. Menik makin bersemangat.
“Sebentar,” Menik beranjak menuju kamarnya. “Kamu sudah punya ponsel kan?” Tanyanya begitu kembali. Gusti mengeluarkan ponsel yang sebenarnya bukan miliknya. Kekasihnya memberikan ponsel lamanya kepada Gusti karena kekasihnya itu sudah membeli ponsel baru.
Gusti menyalin nomor telepon yang diberikan oleh Menik. Melihat ponsel Gusti yang terbilang lusuh, Menik yang sedang bersemangat kemudian meringsek masuk terlalu jauh tanpa ia sendiri menyadarinya. “Kamu tidak berniat ganti ponsel?”
“Uangku habis. Biarlah pakai ponsel lama dulu. Andi bilang mau belikan aku yang baru bulan depan,” ucap Gusti penuh kebohongan. Ia sengaja mengatakan hal demikian karena ia tahu Menik pasti akan bereaksi.
“Ngapain nunggu-nunggu Andi? Aku masih punya satu, baru kubeli awal tahun kemarin. Bukan keluaran terbaru, tapi yang jelas lebih baik daripada milikmu yang sekarang.”
“Awal tahun dua ribu delapan ini? Kenapa sudah tidak dipakai?” Gusti basa-basi.