Leo sengaja menaruh obat-obatan yang biasa ia minum di atas meja makan. Sejauh ini, tak pernah ada obrolan khusus di antara mereka berdua mengenai penyakitnya. Suhita tak pernah bertanya karena ia sedang menunggu, menunggu Leo siap sekaligus menunggu kesiapan dirinya sendiri.
Malam itu, keduanya duduk di meja makan seolah siap untuk mengeluarkan semua kata-kata yang tertangguh selama beberapa bulan terakhir. Rasa rindu tak bisa lagi menunggu. Siap tidak siap, cinta memang tak mengenal semua itu.
“Sekali lagi, selamat atas pencapaianmu.”
Suhita tersenyum tipis. Ia tak ingin mendengar basa-basi lagi dari mulut kekasihnya. Ia ingin perbincangan tentang kelanjutan hubungan mereka segera dimulai.
“Aku sudah putuskan,” kata Suhita. Suaranya tegas, mengisyaratkan kemantapan. “Aku tidak akan meninggalkanmu,” lanjutnya.
Leo menghela napas dalam. Rasa lega dan iba bertubrukan. Ia lega karena Suhita jelas mencintainya dengan kondisi apapun, tetapi ia juga iba kepadanya, sebab ia mungkin akan menyuramkan masa depan gadis itu.
“Aku sering berkonsultasi ke dokter. Seperti yang pernah aku katakan, resiko tetap ada tetapi bukan berarti aku tidak bisa memiliki keluarga normal.” Leo mulai bicara realistis.
“Tunggu. Mas harus jelaskan semuanya dari awal. Aku tidak tahu apa-apa soal penyakit ini. Aku harus tahu segalanya karena aku sudah memutuskan untuk tetap bersamamu. Mas, apa Mas Leo akan mati?”
“Semua orang akan mati. Jika yang kamu maksud adalah apakah umurku tinggal sedikit, kamu salah. Orang dengan penyakit sepertiku bisa hidup lama dengan pola hidup yang benar. Aku sudah melakukannya sepanjang hidupku. Kamu lihat sendiri kan? Aku masih hidup sampai hari ini, ibuku mati di usia enam puluh, nyaris sama seperti orang-orang sehat.”
Suhita beranjak dari tempat duduknya untuk memeluk kekasihnya. Penjelasan itu mengurangi beban pikirannya selama ini. Ia pikir, usia kekasihnya tak akan lama lagi karena penyakit tersebut.
“Mas, seharusnya kamu membawaku tiap kali kamu pergi ke dokter.”
“Aku belum siap dan aku juga tahu bahwa kamu juga belum siap.”
Leo benar. Suhita tak menyangkal. Tapi kini gadis itu sudah memantapkan hatinya. Apapun resiko yang akan ia dapat dari keputusannya, ia siap menerimanya. Tak ada perdebatan atau diskusi panjang malam itu. Padahal, keduanya sudah siap dengan argumen masing-masing. Empat bulan lebih mereka tidak saling berdiskusi atau pun sekadar berbincang santai, mereka pikir, malam itu akan menjadi malam panjang yang dipenuhi dengan kata-kata serta penjelasan tak berujung.
Namun, cinta tak mempermasalahkan semua itu. Dalam percintaan, bahasa tubuh terkadang lebih mendominasi daripada kata-kata. Pelukan dan ciuman meleburkan semua ego yang menjadi penyulut perdebatan panjang. Dua anak manusia telah sepakat dengan bahasa tubuh bahwa mereka akan saling mencinta apapun resikonya. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Suhita dan Leo bercinta sebagaimana dua orang dewasa melakukannya.
Kedewasaan anak-anak selalu menjadi momok bagi siapapun yang merasa memiliki anak-anak itu. Anehnya, rasa kepemilikan Gusti terhadap Suhita seolah jauh lebih besar dari Ayah gadis itu sendiri. Kepemilikan tentu berbeda dengan naluri orang tua meskipun keduanya berbanding lurus. Bedanya, kepemilikan menempatkan anak sebagai objek, sementara naluri orang tua menempatkan anak sebagai subjek.
Melihat Suhita tumbuh dengan sangat baik, Gusti merasa jumawa. Ia pikir, sejak awal anak itu memang sudah ditakdirkan untuk menjadi miliknya. Seperti anjing peliharaan yang sudah lama dibuang, Suhita seolah kembali karena tak bisa berhenti mengabdi kepada sang tuan.
Pada subuh hari, Gusti selesai membaca novel karangan Suhita. Rencana gila berputar-putar di kepalanya. Esok, ia berencana mengambil kembali gadis itu untuk ia bawa pulang.
***
Entah apa yang membuat Gusti begitu berani merencanakan hal sebesar itu. Membawa Menik dan Sugita sekaligus ke rumahnya di Sidoarjo adalah rencana yang sembrono. Rumah itu memang lebih sering kosong, tapi bukan berarti tidak ada kemungkinan lain.
Untuk memastikan semuanya sesuai, Gusti tak langsung memboyong dua anak beranak itu ke rumahnya. Ia menyewa sebuah kamar motel di dekat pasar untuk menampung keduanya. Sementara itu, ia pergi sendiri untuk mengecek keadaan rumah terlebih dahulu.
Rumahnya akan kosong keesokan harinya. Setelah benar-benar yakin dan segalanya sudah siap, barulah ia membawa serta Menik dan Suhita. Menik bersikap seperti seorang menantu yang hendak berkunjung ke rumah mertua. Ia membeli berbagai macam buah-buahan lalu membentuknya menjadi bingkisan parcel. Gusti sama sekali tak melarang meskipun ia tahu apa yang dilakukan wanita itu akan sia-sia. Untuk terakhir kalinya, Gusti merasa harus membuat Menik merasa bahagia.
“Ibumu galak, ya? Apa dia suka anak kecil? Bagaimana dengan Ayahmu? Aku ingat, dulu kamu pernah bilang memiliki banyak kakak perempuan, apakah mereka sudah menikah?” begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh Menik di perjalanan dari pasar menuju rumah Gusti.
Jalanan desanya tak terlalu ramai di ujung-ujung waktu kemarau seperti itu. Rumah Gusti dikelilingi kebun dan tetangga terdekat berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Kedatangan Gusti dengan sepeda motor sewaan sama sekali tak terdeteksi oleh mereka. Terlebih, Gusti datang selepas waktu solat isya, waktu di mana orang-orang sudah tak lagi berlalu-lalang untuk pergi ke masjid.
Suhita sudah tertidur pulas begitu mereka sampai. Menik menggendong putri kecilnya dan menjinjing tas coklat. Sedangkan Gusti tak mau melepas koper hitam berisi uang dari tangannya.
Menik tak langsung berkomentar ketika mendapati rumah Gusti kosong. Setelah membaringkan Suhita di salah satu kamar atas instruksi Gusti, ia duduk sembari mengamati sekeliling. Keheningan rumah itu cukup mengganggu pikirannya. Ia kecewa karena kedatangannya tak disambut oleh kedua orang tua lelaki itu ataupun oleh anggota keluarga yang lain.