Orang-Orang Yang Kubunuh

Magnific Studio
Chapter #30

Menghidupi Khayalan

Tidak ada kata sabar ketika adrenalin Gusti sedang memuncak. Euforia Hikayat Kembang Kosmos karangan Suhita meledakan pikirannya. Asap ledaknya menghasilkan kabut khayalan-khayalan yang selama ini terus menghidupi hidupnya.

Kemunculan Suhita yang tiba-tiba seoalah menjadi mercusuar di tengah kebuntuan yang sering sekali menjegal khayalannya. Kali ini, ia tak mau kehilangan jalan. Ia harus sampai di puncak impian, sebelum jiwanya makin menua, lalu meredup di telan bayang-bayang kegelapan malam.

Matahari menjadi sesuatu yang menyakitkan ketika Gusti sama sekali tak tidur semenjak pertemuannya dengan Suhita. Lepas subuh itu, sehabis ia membaca sampai tuntas kisah kehidupan sang aktris cilik, ia bergegas menyiapkan segala sesuatunya. Sesegera mungkin, ia harus membawa pulang apa yang ia pikir selalu menjadi miliknya sejak awal, yaitu Suhita.

Matanya menyipit begitu ia melangkah ke luar, terganggu oleh cahaya matahari yang mulai menanjaki langit. Gusti menuju tempat persewaan mobil pukul delapan pagi. Ia sudah memantapkan pilihan setelah beberapa menit melihat-lihat. Tapi, tepat sebelum melakukan pembayaran, ia berubah pikiran. Pemiliknya kesal, Gusti masa bodoh. Sebab ada rencana baru yang lebih menguntungkan di kepalanya.

Gusti tidak kembali ke rumah untuk menggunakan sepeda motornya, ia memilih menaiki kendaraan umum. Nanti, setelah urusan utamanya beres, ia baru akan kembali ke rumah untuk mengambil barang-barangnya.

Pukul sepuluh, matahari semakin terasa menyengat di kulit. Gusti berjalan cepat begitu ia turun dari bus. Langkahnya mantap menuju sebuah rumah yang tampak tua di tengah kemodernan Jakarta. Gerbang rumah itu tidak dikunci. Dengan mudah, ia bisa memasuki halamannya.

Rencana awalnya adalah bertamu, menemui Suhita, lalu membawanya pulang. Lebih mudah jika gadis itu mau ikut dengannya secara sukarela, tapi Gusti bukan orang bodoh meskipun khayalannya selalu tampak tak masuk akal. Prinsipnya, ia harus membawa gadis itu pulang, dengan setenang mungkin dan seefektif mungkin, tanpa kegaduhan.

Jika gadis itu sedang sendirian, segalanya akan semakin mudah. Melumpuhkannya untuk sementara tidak akan terlalu sulit. Tapi jika ia sedang bersama seseorang, pekerjaan Gusti akan dua kali lipat lebih sulit. Dan ia telah mengatur banyak rencana untuk berbagai kemungkinan yang akan di hadapainya. Ia bukan amatir dalam hal melumpuhkan manusia lain.

Keadaan rumah sangat sepi. Ia berkeliling untuk menentukan langkah mana yang akan ia pilih, bertamu atau menerobos masuk lalu bersembunyi di salah satu sudut untuk menunggu kesempatan datang.

Jendala rumah itu banyak, tapi tak ada satupun yang terbuka meskipun hari sudah semakin siang. Pintu utama tertutup rapat, mungkin dikunci rapat dari dalam. Gusti mendengar tawa dari arah belakang. Ia melangkah dengan sangat hati-hati agar tak menginjak apapun yang bisa mengeluarkan suara mengganggu.

Satu jendela terbuka. Gusti mengintip dari balik daun jendela kayu yang terbuka ke arah luar. Ia langsung memahami ruangan apa yang sedang ia amati. Dapur. Gusti berjongkok saat mendengar seseorang mendekat ke arah jendela. Dari suara yang jelas terdengar, tepat di bawah jendela itu adalah washtafel.

Lama ia berjongkok di sekitar jendela, mendengarkan dua orang berbincang. Suhita tidak sedang sendirian. Maka, Gusti membuang rencana untuk bertamu. Kini, rencananya terasa lebih menegangkan. Melumpuhkan teman pria Suhita tentu menjadi tantangan tersendiri.

Dari percakapan yang sayub-sayub terdengar, Gusti tahu siapa nama pria itu. Leo. Gusti harus bergegas. Rencananya akan mudah selama mereka masih berada di dapur. Ruangan itu jauh dari jalan utama. Kegaduhan tetap akan terjadi, meskipun hanya sebentar. Dan kegaduhan itu tak akan terdengar oleh siapapun jika ia melakukannya di dapur.

Gusti menurunkan tas ranselnya. Ia mengeluarkan jarum suntik berisi cairan obat bius. Cairan yang dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir menjadi senjata praktis sekaligus ampuh dalam melumpuhkan manusia lain. Cairan yang juga digunakan untuk melancarkan pembunuhannya terhadap Andi pada tahun 2015 dan terhadap Riswanto, kawan lamanya yang ia temui lagi pada tahun 2018.

Ia mendekati pintu belakang rumah sembari memegang jarum suntik tersebut. Jika ia menimbulkan suara gaduh, Leo pasti akan ke luar untuk mengecek dari pintu tersebut. Gusti kemudian mendorong tangga alumunium yang tersandar di tembok. Suaranya begitu kencang saat menghantam permukaan lantai semen. Gusti bersiap, ia menunggu di balik pintu.

Sesuai prediksinya, Leo keluar untuk mengecek apa yang terjadi. Tinggi kedua lelaki itu nyaris sama, tetapi tubuh Gusti jauh lebih besar dari Leo yang terbilang kurus. Tanpa menduga apapun, Leo tak sempat mengelak saat Gusti menarik kerah baju tidurnya. Gusti melingkarkan tangannya di leher Leo lalu menancapkan jarum suntiknya di sana. Jarum suntik itu menembus lapisan kulit dan pembuluh darahnya.

“Mas? Ada apa?”

Suara Suhita terdengar dari dalam. Kesadaran Leo belum benar-benar hilang ketika Suhita bicara. Ia hendak membalas pertanyaan kekasihnya itu, tetapi suaranya tidak bisa keluar meskipun ia sudah membuka lebar-lebar mulutnya. Tangannya bergerak ingin menyentuh bagian leher yang terasa perih, tapi tangan itu begitu berat, seberat kelopak matanya.

Gusti melepaskan tubuh Leo begitu saja ketika mendengar langkah Suhita mendekat. Leo tersungkur di lantai, ia masih bisa merasakan sakit saat kepalanya menghantam lantai semen. Setelahnya, barulah semuanya menjadi gelap.

Melumpuhkan Suhita jauh lebih mudah. Tubuh kecil gadis itu terseret begitu saja saat Gusti menarik lengannya. Dengan metode yang sama seperti saat ia melumpuhkan Leo. Suhita dengan cepat tak sadarkan diri setelah jarum suntik itu menembus pembuluh darahnya.

Lihat selengkapnya