Orang-Orang Yang Kubunuh

Magnific Studio
Chapter #31

Sebuah Ganjalan

Herman dan jajarannya nyaris tak terlihat di tengah kerumunan. Ratusan wartawan berjubel memenuhi area konferensi pers. Kali ini, Polisi tak menghadirkan tersangka yang sudah dilabeli sebagai pembunuh berantai itu. Sebab kali terakhir, mereka dibuat pusing olehnya.

Identitas korban dibuka secara keseluruhan. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh si pembunuh berantai, total ada sembilan mayat yang berhasil ditemukan. Di depan jajaran petugas, terdapat empat meja besar yang diatasnya berjejer barang-barang. Barang-barang itu dibungkus dengan plastik bening, ada yang besar ada yang kecil. Suara jepretan kamera menenggelamkan teriakan Riko yang memberi peringatan agar wartawan-wartawan itu tidak saling mendorong demi mendapatkan gambar.

Tak hanya sembilan mayat yang diangkat dari dalam tanah pekarangan itu, tetapi juga barang-barang yang merupakan milik para korban. Polisi mudah mengidentifikasi milik siapa dari setiap barang tersebut, sebab barang-barang itu dikubur di liang yang sama bersama pemiliknya.

Dua koper masing-masing milik korban atas nama Brama dan Frenki. Satu tas hitam milik korban bernama Andi, dan satu tas merah milik korban bernama Ansori. Korban lain terkubur tanpa barang-barang. Proses identifikasi korban yang dikubur bersama barang-barang mereka tentu lebih mudah. Sedangkan untuk menguak identitas korban lainnya, polisi memerlukan waktu lebih lama sebab mereka melakukannya dengan sangat hati-hati agar tak terjerumus ke dalam jurang kesalahan yang sama. Terlebih, kasus pembunuhan berantai ini sudah menggelinding menjadi bola salju yang semakin besar sekalanya.

Nama-nama korban dirilis tak lama setelah konferensi pers dibuka: satu korban tanpa nama, Munir, Jalal Ansori, Brama Adisurya, Frenki Simanjuntak, Andi, Menik Astuti, Riswanto, dan Agustinus Leonard. Herman kemudian menyebutkan dua nama lain yaitu Hendin dan Lukas secara terpisah karena dua korban tersebut tak dikubur di pekarangan rumah si pembunuh.

Dalam konferensi pers itu pula, Herman banyak meluruskan kabar-kabar sembarangan yang beredar di masyarakat. Bahwa tidak ada anak kecil di antara korban-korban tersebut dan juga tidak semua korban dimutilasi.

Kerangka Munir yang menyerupai anak kecil sempat memunculkan spekulasi bahwa Gusti juga gemar membunuh anak-anak. Berita tersebut bahkan sempat menjadi headline di salah satu koran terbesar di Indonesia.

Gusti rutin didatangi psikolog sebelum persidangan akhir dilakukan. Pengacar yang dibawa oleh Kasmini tak bisa berbuat banyak karena kejahatan Gusti sudah terang benderang. Upaya terakhir yang bisa ia lakukan adalah menjadikan kondisi kejiwaan Gusti sebagai tameng sebab Gusti dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum.

Sebelum konferensi pers, Herman dan Riko lebih dulu mendatangi penerbit yang bertanggungjawab menerbitkan buku karangan Bathara Yama. Mereka terkejut saat mengetahui kebenaran dibalik penulisan novel tersebut. Penarikan masal pun dilakukan.

Namun, tak ada rahasia yang benar-benar bisa dikubur. Masifnya berita soal Gusti dan kisah para korban yang terus menerus dibahas di televisi setelah konferensi pers membuat orang-orang yang pernah membaca novel ‘Orang-orang Yang Kubunuh’ mulai menyadari kemiripannya.

Awalnya, kemiripan tersebut hanya dibahas di platform media sosial oleh segelintir orang. Tetapi segelintir orang tersebut menimbulkan efek bola salju. Makin hari, desas-desus tersebut kian membesar. Kepolisan dan kejaksaan tak bisa berbuat banyak ketika pada akhirnya, jutaan orang percaya dan mengetahui bahwa Bathara Yama adalah Gusti si pembunuh berantai dan novelnya ‘Orang-Orang yang Kubunuh’ memang membahas tentang bagaimana kesembilan korbannya mati.

Meskipun sudah ditarik, penggandaan ilegal menyebabkan novel tersebut tetap menyebar tak terkendali. Sedangkan orang-orang yang memiliki novel asli menjualnya dengan harga yang sangat tinggi. Situasi tersebut menyebabkan pihak penerbit menjadi target serbuan wartawan selain rutan di mana Gusti ditahan selama menunggu sidang putusan vonis.

Ribuan surat berisi permohonan izin untuk mewawancari Gusti masuk ke pihak kepolisian. Herman menolak keras permintaan media-media tersebut, tak peduli seberapa besar nama dan kantor berita mereka. Sebab ia tahu situasi semacam ini lah yang diinginkan oleh tersangkanya.

Namun, Herman tidak bekerja seorang diri. Ia juga bukan seseorang yang memiliki kuasa penuh meskipun ia pimpinan tim penyidik. Tugasnya sudah selesai ketika kasus pembunuhan berantai itu dilimpahkan ke pihak Kejaksaan.

Perlahan, dampak dari sorotan yang menggemparkan itu mulai dinikmati oleh banyak orang. Media televisi panen rating, begitu juga dengan youtuber dan influencer yang setiap hari membahas kasus pembunuhan berantai tersebut. Penjualan koran meningkat dan tempat kelahiran Gusti mendadak terkenal meskipun dengan cara yang ganjil.

Kepolisian dan Kejaksaan tentu tak bisa lepas dari sorotan tersebut. Untuk mengurangi sorotan negatif, pada akhirnya, mereka ikut masuk ke dalam pusaran ironi euforia. Satu media besar berhasil mendapat izin untuk mewawancarai Gusti secara eksklusif. Herman marah besar. Tapi amarahnya tak merubah banyak hal.

Saat melihat bagaimana Gusti bersikap di dalam video wawancara tersebut, sesuatu yang mengganjal terus mengusik pikirannya. Gusti adalah master manipulasi. Bukan tak mungkin jutaan manusia akan tersihir oleh gerak-geriknya yang terlihat seperti malaikat.

Banyak psikolog wara-wiri di televisi untuk memberi pendapatnya soal kondisi kejiwaan Gusti setelah video wawancara tersebut disiarkan. Mereka semua nyaris sepakat, pembunuh berantai ini adalah seseorang psikopat. Herman was-was sebab hukum di Indonesia belum memiliki delik pasti mengenai hukuman untuk seorang psikopat. Jika para Hakim mengadopsi cara barat, Gusti bisa lolos dari jerat hukuman mati. Herman ingin Indonesia memakai caranya sendiri. Siapapun yang membunuh manusia lain dengan cara sedemikian keji, tak peduli rusak atau tidak jiwanya, mereka pantas mendapatkan hukuman mati. Sebab ia percaya, jika orang-orang seperti Gusti dibiarkan hidup, nyawa manusia lain jelas menjadi taruhannya.

Sehari sebelum sidang putusan, Herman sengaja datang. Wajah Gusti tampak sangat tenang untuk seseorang yang sedang dituntut hukuman mati.

“Aku senang, anda masih mau bertemu denganku lagi.” Gembiranya tak dibuat-buat. Gusti memang sedang dilimuti kebahagiaan.

“Aku punya beberapa pertanyaan.”

“Ah, anda lucu sekali. Bukankah masa interogasi sudah usai? Besok aku sudah disidang. Anda ingin tahu apa lagi? Aku tahu anda sudah menyelesaikan novelku, kurang jelas apalagi?” Senyum Gusti tipis, tapi mampu membuat Herman jengkel. Senyum itu mengisyaratkan kesombongan. Jelas, tersangkanya jelas sudah tahu bahwa kini namanya sedang melambung di luaran sana.

Lihat selengkapnya