Pukul tujuh pagi, Gusti sudah berdandan rapi. Atas saran pengacaranya, ia memakai pakaian serba putih dan mengenakan peci hitam. Setelan itu mengingatkannya pada masa saat ia menjadi seorang santri. Tak masalah, pikir Gusti. Sebab ia tak suka memakai seragam tahanan berwarna jingga. Warna jingga membuat kulitnya tampak kusam.
“Aku jadi jelek di kamera,” kata Gusti pada Ibunya. Wanita itu datang kemarin untuk mengantarkan baju serba putih itu. Kasih sayang Kasmini kepada si bungsu membesar ketika pengacara memberitahunya bahwa bungsunya itu dituntut hukuman mati.
Naluri keibuannya terguncang. Kepada Gusti yang sudah membunuh sebelas orang, ia justru tak berkomentar satu patah katapun. Entah karena ia sudah terlampau tua hingga tak lagi memiliki tenaga untuk menghajar sang anak, atau ia memang telah memutuskan untuk menerima segalanya.
Seluruh keluarga memilih menjauh dan bersembunyi, hanya Kasmini yang bertahan. Serumit dan sebusuk apapun hubungan keduanya, mereka tetap tarik menarik. Sebab tali pengikat antara ibu dan anak telah diciptakan sedemikian kuat oleh Tuhan.
Jepretan kamera wartawan tak berhenti terdengar begitu Gusti ke luar dari mobil tahanan untuk menuju gedung persidangan. Ratusan orang meringsak maju dengan macam-macam kepentingan. Mereka adalah wartawan, keluarga korban, orang-orang biasa yang mengaku sebagai pendukung keluarga korban dan orang-orang yang sekadar ingin melihat langsung wajah pembunuh berantai sekaligus penulis bernama Bathara Yama.
Petugas kewalahan, Gusti terjepit di tengah kerumunan. Tapi ia tampak menikmatinya. Penampilannya berantakan ketika sampai di ruangan persidangan. Di sana, situasinya tak kalah ramai. Barisan belakang berisi beberapa wartawan yang diizinkan masuk untuk meliput jalannya persidangan. Bagian tengah yang berisi bangku-bangku sudah terisi penuh oleh keluarga korban. Sorakan terdengar dari kelompok tengah itu begitu Gusti memasuki ruangan. Beberapa dari mereka mulai mengeluarkan umpatan dan air mata amarah.
Herman berdiri bersama para wartawan di belakang, mengamati kerumunan di depannya yang mengkhawatirkan. Di antara kerumunan itu, ia melihat wajah-wajah yang tak asing. Wajah wanita paruh baya yang pingsan di bawah pohon mangga ketika hari pembongkaran dan wajah dua orang yang baru saja menemuinya pagi ini.
Pagi sekali, Riko menghubunginya untuk memberitahu bahwa dua orang sedang menunggunya di kantor layanan. Sejak konferensi pers, kepolisian membuka layanan khusus untuk menerima laporan yang sekiranya berkaitan dengan kasus pembunuhan berantai itu. Herman bergegas sebab informasi yang ia dapat begitu mengusik.