Arka membentangkan spanduk berukuran 3x1,5 meter di lantai. Tulisan besar terpampang: Aksi Damai Mengenang 20 Tahun Tragedi Trisakti.
Laki-laki itu melipat spanduk tersebut dengan rapi dan meletakkannya di atas meja, bersebelahan dengan spanduk lain dan tumpukan poster tentang menuntut keadilan dan meminta pertanggung jawaban pemerintah, khususnya aparat, atas insiden yang merenggut nyawa empat mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jakarta itu.
Pintu dibuka. Seorang mahasiswa berambut semi gondrong masuk ruangan bersama seorang mahasiswi berambut pendek.
"Sudah siap semuanya?" tanya Albi sambil menguncir rambutnya dengan karet yang dia tarik dari pergelangan tangannya.
Arka mengangguk. "Jangan lupa teks orasinya," Arka mengingatkan. "Udah buat?"
Albi menggeleng dengan tenang.
"Buruan. Habis itu kita diskusikan," desak Arka dengan gemas.
"Tenang aja, Bro. Masih ada waktu 11 hari lagi. Ngumpulin ide dulu."
"Anak-anak FIB mau nyumbang teater, loh," lapor Egy sebelum Arka keburu kesal karena sikap Albi yang santai.
Kabar yang disampaikan Egy membuat presiden BEM itu lega. "Bagus. Biar ada variasi. Nggak orasi melulu sepanjang aksi."
Albi menoleh, pura-pura kesal. "Udah bosen, ya, denger gue berorasi?"