Sejak kemarin, Lara berkutat dengan laptopnya. Membaca artikel, menonton video di YouTube. Dia tidak sedang membuat tugas kuliah, tetapi membuat riset untuk puisinya. Puisi yang berbeda dari yang biasa dia tulis. Jika biasanya Lara menulis puisi sebagai catatan harian, kali ini dia menulis puisi perlawanan untuk dibacakan saat aksi.
Bukan keinginannya mengubah haluan. Ini semua gara-gara Dhita. Sahabatnya itu mengajak dia mengikuti aksi damai untuk mengenang 20 tahun tragedi Trisakti.
“Aksi damai, bukan unjuk rasa. Beda, ya,” Dhita menegaskan. “Tetap ada orasi, tetap ada spanduk, tapi nggak sekeras unjuk rasa. Cuma menunjukkan kepedulian kita sebagai mahasiswa terhadap isu tertentu.”
“Terus, apa hubungannya sama puisi?”
Selama kuliah, Lara tidak pernah mengikuti aksi mahasiswa. Menurutnya sebagai anak sastra, menulis adalah cara yang paling elegan untuk mengungkapkan pemikiran. Tidak mengganggu lalu lintas ataupun membuat gaduh yang ujung-ujungnya ricuh karena bentrok dengan aparat.
Karena tidak pernah mengikuti aksi mahasiswa itulah Lara tidak paham perbedaan aksi damai dengan unjuk rasa. Baginya, semua sama saja. Sama-sama menyuarakan perlawanan.
“Puisinya buat dibacakan saat aksi nanti, Bu. Sama kayak orasi,” jelas Dhita seraya melahap rotinya. Pagi itu, mereka sedang menunggu dosen di depan gedung kuliah. “Dalam aksi damai,” lanjutnya, “kita bisa bikin pertunjukan. Misalnya teater, nyanyi-nyanyi, yel-yel. Lebih tenang dan minim risiko bentrokan sama aparat. Begitu. Ikut, ya?”
Lara diam saja. Memutuskan ikut atau tidak untuk kegiatan ini tidak semudah menjawab “ya” atau “tidak” ketika diajak nongkrong di kafe. Dia menimbang-nimbang, apa tujuan aksi damai itu? Bagaimana kalau terjadi kericuhan?
Melihat Lara diam saja alih-alih menjawab, Dhita jadi gemas. “Hei, ikut, ya. Please…”
“Kenapa aku harus ikut?”
“Biar aku ada teman,” jawab Dhita enteng. “Aku pengin ngerasain ikut demo. Tapi takut kalau sampai ricuh. Walaupun belum tentu bakal ricuh juga, sih.”
“Belum tentu nggak berarti nggak bakalan ricuh, kan?” Lara mendebat.
“Iya, sih. Tapi, sekali aja selama kuliah, masa’ nggak pernah ikut aksi?”
Lara cuma geleng-geleng. “Kalau nggak ikut demo, emang nggak afdol, ya, masa kuliahnya?”
Dhita mengabaikan pertanyaan sinis Lara. “Pokoknya, aku mau ikut. Kamu juga. Sekalian nyumbang orasi. Kamu bikin puisi sekalian bacain. Sesekali unjuk gigi gitu,” sindirnya.
Lara menolak mentah-mentah. “Masalahnya, puisi yang aku bikin buat journaling, bukan buat orasi. Aku nggak bisa bikin puisi orasi…”