Orasi di Balik Pelaminan

Rie Yanti
Chapter #4

Bab 4

Suara tembakan.

Jerit para mahasiswa berjas almamater biru dongker.

Empat tubuh bersimbah darah tergeletak, diapit langkah sepatu dan lars yang saling berkejaran. Wajah mereka berkeliaran di benak Lara meski ia tak pernah bertatap muka dengan mereka.

Lalu, Lara mendengar orang-orang berpakaian hitam menangis pedih dan pilu sembari meneriakkan nama Elang, Heri, Hafidin, dan Hendriawan. Seakan tidak ikhlas keempat pemuda itu pergi mendahului mereka.

Lara terbangun. Tiba-tiba dia merasa asing di kamarnya sendiri meski segala sesuatu tampak jelas di sana. Dia tak sempat mematikan lampu. Ketiduran. Perlu beberapa detik untuk membuatnya ingat kembali bahwa beberapa jam yang lalu, dia menulis puisi untuk aksi damai minggu depan. Dia mengalami writer’s block. Merasa tak mampu menulis puisi itu dengan baik.

Bukan karena dia tak pernah mengalami masalahnya, melainkan karena ayahnya. Lara takut puisinya dinilai terlalu lantang menyuarakan ketidakadilan. Dia khawatir kata-katanya terlalu tajam bagi institusi tempat ayahnya mencari nafkah.

Namun mimpi yang baru saja dia alami membuatnya tergerak untuk memperbaiki puisinya. Diraihnya kembali carik-carik kertas yang tadi ikut berbaring di sampingnya. Dibacanya ulang puisi yang sudah dia tulis, mencoret beberapa kata dan baris, lantas menggantinya dengan diksi dan kalimat yang baru.

Tidak sampai setengah jam, puisi itu pun rampung dia anggit. Lara membacanya dengan suara yang kecil sekali sambil membayangkan dirinya berada di depan teman-temannya dan barikade aparat.

 

Mereka bilang: mari kita tumpahkan air mata

untuk raga yang gugur demi perubahan.

 

Tapi air mata hanya menghapus jejak,

darah tetap mengendap di tanah ini.

 

Dua dekade berlalu,

Namun nama itu tetap dibungkam.

Empat nyawa ditukar dengan satu perintah.

 

Lalu pintu ditutup rapat dengan kalimat resmi:

Kami hanya menjalankan tugas.

Tidak ada yang salah.

 

Tapi kami menunggu jawaban, bukan senyap.

Lihat selengkapnya