Lara merasa energinya terkuras hari ini. Sepulang kuliah, dia tidur sampai magrib. Bangun-bangun, di meja makan sudah terhidang masakan ibunya: mercon daging, telur ceplok, tumis kacang panjang, dan kerupuk. Jika pagi dan siang, semua orang makan sendiri-sendiri karena kegiatan mereka berbeda. Tetapi malamnya, mereka makan bersama. Kalau tidak bisa pulang cepat, harus memberi kabar. Seperti itu aturan yang dibuat Rendra.
Meski disiplin, Rendra membolehkan keluarganya berbicara saat makan malam. Sebab pada saat itulah mereka bisa bercengkerama, bertukar cerita tentang kegiatan hari itu. Rendra sendiri jarang bicara. Anak-anaknyalah yang meramaikan meja makan.
“Tanggal 12 nanti ada demo, ya?” tanya Laksmi.
“Aksi damai,” ralat Lara dengan mulut penuh makanan. “Papa yang bilang, ya?
Laksmi mengangguk.
“Sama aja,” sahut Remi, kakak Lara. “Mau namanya aksi damai, kek. Unjuk rasa, kek. Demo, kek. Semuanya sama. Emang mau menuntut apa, sih?”
“Mengenang 20 tahun tragedi Trisakti. Kan, dalang penembakannya belum terbongkar.”
“Tapi kamu nggak ikut, kan?”
Lara menggigit kerupuknya sambil menoleh pada sang kakak. “Nggak tahu. Kenapa?”
“Nggak usah ikutlah. Bilang saja ada acara keluarga,” saran Laksmi.
“Ih, mama, alasannya kuno banget,” protes Lara.
“Ya… bilang apalah. Karang sendiri alasannya. Yang penting kamu nggak ikut.”
Lara tidak menyanggupi. Tidak juga menolak.