Orasi di Balik Pelaminan

Rie Yanti
Chapter #6

Bab 6

“Wow! Bagus banget!” Albi tidak bisa menahan kekagumannya. “Ini… lebih kritis dan tajam. Pas banget buat menegur aparat supaya ingat kalau kasus itu belum tuntas.”

“Yang bener?” Lara tidak percaya.

“Iya. Puisi sebelumnya juga bagus, sih. Tapi yang ini lebih pas. Coba kamu bacakan.”

Lara dan Albi janjian bertemu di taman kampus. Kampus Universitas Persada Khatulistiwa atau biasa disebut Uperkha memang terbilang luas; sekitar 135 hektar. Di dekat gerbang utama, ada sebuah taman yang biasa dipakai para mahasiswa untuk bertemu dengan teman-teman lintas fakultas. Maklum, jarak antara fakultas yang satu dengan fakultas yang lain di Uperkha berjauhan.

Suasana taman mulai sepi karena jam menunjukkan pukul empat sore lewat beberapa menit. Banyak mahasiswa yang sudah mengakhiri perkuliahan mereka di kelas. Ada juga yang masih berkumpul di HIMA (Himpunan Mahasiswa) atau mengikuti UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di fakultas masing-masing. Namun yang jelas, hanya ada beberapa orang yang sedang duduk di bangku taman. Mereka tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kecil kemungkinan mereka akan tertarik dengan apa yang akan Lara lakukan.

Tetapi Lara menggeleng. “Malu,” katanya.

“Nggak apa-apa. Semua orang juga tahu kita mau bikin aksi damai. Mungkin mereka yang ada di sini juga mau ikut. Ayo, nggak apa-apa. Keluarkan suaramu sekeras mungkin.” Albi terus membujuk dan menyemangati.

Lara terdiam, berpikir. “Aku baca pelan-pelan aja, ya,” katanya, meminta izin.

“Ya, sudah. Pertama pelan-pelan dulu. Nanti yang lantang, biar terdengar sampai istana negara.”

Lara tertawa. Dia lalu membacakan puisinya. Meski suaranya kecil, Lara cukup ekspresif, artikulasinya jelas dengan intonasi di bagian tertentu.

Albi bertepuk tangan. “Bagus, kok. Sering membacakan puisi, ya?”

“Nggak juga.” Lara lekas-lekas menyangkal. “Aku nggak suka tampil di depan umum. Lebih suka di belakang layar,” papar Lara. “Ng… kalau aku nggak bacain puisinya, gimana? Misalnya, aku cari orang lain buat gantiin aku.”

Albi tertawa kecil. “Baca sendiri, dong. Sayang puisi sebagus ini malah diserahkan ke orang lain.”

“Tapi…”

Lihat selengkapnya