Aksi damai akan dilangsungkan besok. Lara memutuskan tidak akan ikut. Dhita tak putus-putus merayunya.
“Please, ikut. Ini mungkin pengalaman sekali seumur hidup. Kapan lagi, coba, kita turun ke jalan? Nanti-nanti keburu lulus,” katanya sambil memasukkan sebungkus roti ke dalam keranjang belanja. Siang itu, Lara menemani Dhita membeli berbagai keperluan untuk aksi damai.
“Iya, aku tahu. Tapi, nggak boleh sama mama dan papa…”
“Papamu mau ngawasin?”
“Iya.”
Dhita ikut bingung. Sulit juga jadi anak polisi.
“Minta izin baik-baik sambil yakinkan mereka kalau kamu nggak akan kenapa-kenapa. Begitu acaranya selesai, langsung pulang. Percaya, deh, aksi damai besok nggak akan rusuh-rusuh. Nggak akan bikin aparat ngamuk-ngamuk. Ini kesempatan buat kita jadi mahasiswa beneran. Ingat, ya, kata senior kita, ‘bukan mahasiswa kalau nggak pernah ikut demo.’ Catat itu!”
“Itu, kan, demo. Bukan aksi damai,” ralat Lara, sinis.
Dhita menggubris. “Anggap aja sama.”
Lara semakin bingung. Jauh di lubuk hatinya, dia sangat ingin berpartisipasi dalam aksi damai besok. Lara ingin ikut bersuara meski pelan. Tragedi Trisakti cukup mengguncang pikirannya.
“Gini aja, deh. Kamu ngomong lagi sama orang tua kamu, rayu mereka sebisa mungkin. Kalau bisa sambil ngasih mahar perhiasan atau apa gitu…”