Seiring dengan dimasukkannya kemasan bekas makanan dan minuman ke dalam kantong sampah, para mahasiswa menghela napas lega karena aksi damai berakhir dengan damai. Beberapa dari mereka melepas ikat kepala. Tangan-tangan memegang ponsel, mengabadikan mereka yang berpose dengan kedua jari, membentangkan kedua tangan, atau sekadar tersenyum lebar dengan latar barikade aparat dan barisan teman-teman mereka.
Sambil menunggu aba-aba berikutnya dari Sammy, para mahasiswa meregangkan tangan dan tubuh. Badan pegal-pegal dan perut sudah lapar meski sudah diganjal makanan ringan dan air mineral. Tidak sabar untuk rebahan di kamar tidur atau makan siang.
Bum!
Suara sesuatu yang berat dan keras menimpa tameng aparat.
Tameng seorang aparat retak terkena lemparan batu yang melayang entah dari mana. Seketika riuh terdengar di barisan mahasiswa. Sebagian menoleh bingung, sebagian lagi mulai ribut mencari siapa pelakunya.
Ipda Banu segera memberi instruksi lewat pengeras suara. “Perhatian! Jangan terpancing provokasi. Massa diminta tetap tenang.”
“Ada apa, sih, ini?” Dhita panik sambil celingak-celinguk ke depan barisan.
“Kayak ada yang pecah. Tapi apa?” tanya Lara yang tidak berani mencari tahu lebih lanjut. Dari kasak-kusuk di sekelilingnya, Dhita dan Lara akhirnya tahu ada yang melempar batu dan mengenai tameng aparat.
“Ya ampun, ada provokator!”
“Mana? Mana orangnya?” Para mahasiswa di sekeliling Lara dan Dhita tak henti-hentinya bersuara.
Situasi yang menegangkan itu membuat Lara cemas luar biasa. Tak hanya dirinya dan Dhita yang dia cemaskan, tetapi juga Albi yang ada di barisan paling depan. Takut Albi kena lemparan batu atau jadi sasaran tindakan aparat karena puisinya tadi…
Lara menyesal. Seharusnya aku tidak memberikan puisi itu padanya.
Sammy mengacungkan telapak tangannya, mengisyaratkan teman-temannya untuk diam dan tenang, lantas menyusul sang negosiator yang ditemani Arka dan tim advokasi bernegosiasi dengan Ipda Banu.
Lara mengintip dari kerumunan, dari balik rambut yang menutupi wajahnya. Albi masih berdiri bersama teman-temannya, menunggu hasil negosiasi perwakilan mahasiswa.
Setelah hampir 10 menit, Sammy berbalik badan dan menempelkan moncong megafon ke mulutnya. “Kita pulang ke kampus dengan tertib. Gandeng tangan kawan-kawannya.”
Tetapi seorang mahasiswa dari barisan tengah membangkang. Dia melangkah ke depan barisan dan berteriak kepada aparat. “Selesaikan kasus ini sekarang! Kalau polisi memang adil, buktikan sekarang juga!”
Suasana barisan mendadak kaku. Semua kepala menoleh ke satu titik: mahasiswa itu, yang berdiri sendirian di depan. Bisik-bisik kembali terdengar, “anak mana dia?”, “perasaan aku belum pernah lihat dia, deh”, “itu mirip anak ekonomi angkatan lama. Kalau bener, ngapain dia ikut aksi?”.
Mahasiswa yang berteriak itu mengenakan jas almamater Uperkha. Namun, tidak seorang pun yang mengenalnya dengan baik.