Sejak awal 2024, Ruangkata.id seperti dapur yang tak pernah berhenti mengepul. Setiap hari, redaksi tenggelam dalam tumpukan tulisan seputar Pilpres—dari analisis akademis sampai curahan hati mahasiswa yang baru pertama kali memilih. Musim politik selalu terasa seperti musim ujian: semua orang ingin bicara, tapi hanya sedikit yang benar-benar mendengarkan.
Obrolan seputar pilpres masih mewarnai kantor media daring ini sampai dua minggu pasca hari pemilihan. Deretan kubikel berwarna abu-abu yang memenuhi ruangan redaksi tidak mampu sepenuhnya membatasi percakapan para karyawan. Meski setiap meja dibatasi partisi setinggi dada agar memberi ruang privasi, tetap saja suara obrolan terdengar jelas di antara ketikan komputer dan notifikasi pesan.
Lara menatap layar, memeriksa salah satu naskah artikel opini ketika terdengar suara langkah kaki mendekat ke mejanya. Gadis 26 tahun itu semakin mendekatkan wajahnya ke layar. Tak peduli bagaimana efek ke matanya nanti.
Lara tidak suka diganggu saat sedang bekerja. Mengedit naskah bukanlah pekerjaan mudah sekalipun terlihat gampang. Rasanya, dia butuh ruang sendiri agar bisa berkonsentrasi. Tapi apa daya, kantornya yang sederhana itu memaksanya untuk bekerja di dalam kubikel yang bertetangga dekat dengan kubikel-kubikel lainnya.
Sialnya lagi, kubikelnya itu terletak di dekat lift. Memungkinkan tamu atau orang baru langsung bertanya padanya tentang orang yang akan mereka temui. Seolah-olah Lara adalah resepsionis kedua di kantor ini.
“Maaf, Mbak. Ruangan Pak Dimas di mana, ya?”
Biasanya jika ada yang bertanya seperti itu, Lara menghela napas, memutar kepalanya hingga berpaling dari layar komputer untuk memandang si penanya dengan wajah dingin. Keramahan membeku di parasnya.
Kali ini tidak. Suara penanya itu seperti tak lagi asing di kupingnya. Otak Lara dengan fasih menyebutkan sebuah nama yang pernah singgah di hatinya.
Dan ketika menoleh pada tamu itu, Lara membeku selama sepersekian detik. “Albi?”
Wajah itu tidak berubah. Tubuhnya juga tidak lantas kurusan atau berisi. Hanya rambutnya yang berbeda. Dulu gondrong, sekarang pendek. Lara pangling. Nyaris tidak percaya melihat laki-laki di hadapannya itu. Enam tahun bukan waktu yang singkat. Tapi ketika melihat Albi berdiri dalam radius tak lebih dari satu meter, Lara merasa jarak waktu itu seolah runtuh dalam satu tarikan napas.
Albi pun tampak sama terkejutnya. “Lara? Kerja di sini?”
Mereka tak bertemu lagi sejak aksi damai 12 Mei itu. Tahun-tahun berikutnya sampai lulus kuliah, Lara tidak mengikuti aksi apa-apa lagi. Dhita juga tidak mengajaknya ikut aksi apapun. Tampaknya dia kapok mengikuti aksi mahasiswa. Mereka memilih fokus kuliah dan membidik pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka.
Sama halnya dengan Albi. Dia sempat diajak mengikuti aksi gabungan BEM lintas kampus pada tahun 2019 untuk menuntut pembatalan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, walaupun keanggotaan BEM-nya sudah berakhir. Hanya statusnya yang masih mahasiswa saja yang membuatnya masih bisa mengikuti aksi massa.
Tetapi orator andalah BEM Uperkha itu menolak, membuat Arka dan anggota BEM lainnya kecewa setengah mati. Terlebih alasan Albi hanya untuk menyelesaikan skripsi.
Albi tahu itu alasan sepele dan terkesan egois. Tapi bagaimana menjelaskan pada Arka bahwa yang menahannya bukan tugas akhir, melainkan ingatan yang belum selesai? Asap, sirene, dan wajah Lara yang lenyap di antara kerumunan. Albi tahu, teman sehaluannya itu tidak akan bisa menerima alasan yang sentimental dan tidak jantan.
Maka, Albi jadi bulan-bulanan kekesalan Arka. “Skripsi bisa ditunda. Lo pinter, nggak perlu takut nggak lulus, dosen-dosen bakal ngebantu lo dengan senang hati. Tapi negara nggak bisa nunggu. Negara mendesak kita buat turun ke jalan. Lagipula, ini mungkin terakhir kalinya kita berdemo selama jadi mahasiswa,” bujuk Arka.
Namun, dirayu dengan cara apapun, Albi tetap menolak. Sebagai kompensasi, dia menyanggupi menyusun naskah orasi untuk dibacakan orator lain. Giliran Arka yang menolak sebagai wujud kekecewaan terhadapnya.
Albi hanya bisa membaca berita dan menonton liputan melalui YouTube. Banyak yang menyebut unjuk rasa kali itu adalah yang terbesar kedua setelah unjuk rasa 1998. Ada secuil rasa sesal menyelinap dalam dadanya karena tidak menjadi bagian dari aksi massa itu. Namun tidak sebesar penyesalannya terhadap satu hal lain: keputusan yang membuat Lara ikut dalam aksi tahun sebelumnya.
Karena aksi itu, dia kehilangan Lara. Dengan mematikan pijar lilinnya di jalan, Albi merasa telah menebus kesalahannya.