“Albirru itu artinya apa?” tanya Lara, di antara uap dan aroma kuah soto yang menyeruak dari dalam mangkok. Siang itu, dia dan Albi makan siang sambil bercakap-cakap tentang acara diskusi buku.
“Kebajikan. Yah, semacam doa agar toko bukuku memberi banyak kebaikan buat semua orang.”
Lara menyeruput kuah soto. “Kupikir, dari namamu ditambah kata “biru”. Mungkin kamu suka nama biru, jadi dirangkailah kata “albirru”. Biar keren, “r”-nya dobel.”
Albi tertawa renyah. “Bisa aja. Albirru itu dari bahasa Arab. Tapi, tebakanmu bener, sih. Aku suka warna biru. Tahu dari mana?”
Lara menggeleng. “Kamu kelihatannya kalem, teratur, percaya diri. Dan sebagai warna primer, biru itu penting. Sama kayak kamu. Kalau nggak ada kamu, aksi mahasiswa dulu bisa-bisa kehilangan arah.”
Albi berusaha menahan tawanya. Bukan karena takut nasi dan soto dalam mulutnya muncrat, tapi karena merasa tidak enak tertawa keras-keras di tempat umum. “Jangan lebay gitu. Aku suka warna biru karena kelihatan kalem aja.”
Lara berusaha mengelak. “Jangan tiru-tiru aku. Aku juga suka warna biru karena alasan ketenangan.”
“Loh, berarti kita sama, dong?” Mata Albi membulat, antusias.
Lara menoleh dan tersenyum hangat. Sehangat kuah soto yang masih tersisa di dalam mangkoknya. “Eh, spesifiknya, diskusi nanti membahas apa, sih?”
Albi mendorong mangkoknya sedikit dan menarik gelas es teh manis ke hadapannya. “Garis besarnya begini. Buku, kan, bisa mengubah pola pikir dan persepsi pembaca. Nah, setelah membaca buku, apa yang biasanya kamu lakukan? Langsung taruh bukunya gitu aja di rak, atau ada yang akan kamu lakukan dengan lingkup sosialmu? Biar jelas, datang aja ke acaranya. Jumat jam tiga sore. Bisa, kan? Atau izin Dimas. Bilang aja aku yang mengundang. Acaranya di aula Uperkha, tapi terbuka buat umum.”
Laki-laki itu mengaduk minumannya dengan sedotan, menciptakan bunyi ketukan pelan ketika es batu mengenai dinding gelas.
Lara membayangkan keseruan acara diskusi itu nanti. Pasti banyak yang bertanya dan beropini. “Kedengarannya menarik, sih. Nanti aku coba ngomong ke Mas Dimas.”
“Kalau pulangnya nggak kemalaman, sekalian mampir ke Albirru.” Albi menawarkan. “Dekat, kok, dari gerbang kampus. Tahu toko baju Sustainibility, kan, yang dulu jual baju-baju seken?”
Lara menerawang, mengingat tempat-tempat di sekitar Uperkha yang cukup populer saat mereka masih mahasiswa dulu. “Oh, ya. Seberangnya rumah makan Sendok & Garpu, kan?”
Albi mengangguk. “Tokonya sudah tutup. Diganti sama Albirru.”
“Oh, di situ. Dekat banget sama kampus, dong?”
“Sengaja. Biar banyak mahasiswa yang berkunjung.”
Depot mulai sepi. Waktu istirahat siang masih tersisa belasan menit. Lara dan Albi memanfaatkannya untuk meneruskan percakapan mereka.
“Dhita sekarang jadi YouTuber, ya?”
“Iya. Menyalurkan kecerewetannya.” Lara terkekeh.
Albi ikut tertawa. “Emang dari dulu kayak gitu?”
Lara mengangguk. “Iya. Dia orangnya agak impulsif, ceplas-ceplos. Kalau punya keinginan, dia bisa maksa-maksa orang juga.”
“Oh, ya? Kayak gimana?”
“Kayak aksi damai dulu itu.” Lara bicara pelan-pelan. Khawatir jika aksi damai tersebut meninggalkan kenangan buruk bagi Albi.
“Memangnya kenapa?”
Lara pun menjelaskan. Apa adanya. “Awalnya, Dhita bilang ke Egy kalau dia mau ikut aksi damai sama aku. Dia bilangnya aku mau bacain puisi. Padahal sumpah, aku nggak pernah bilang kayak gitu.”
Albi melohok.
“Karena dia kadung bilang sama Egy, terpaksalah aku ikut. Aslinya, kan, aku nggak suka keramaian dan nggak dikasih izin sama orang tuaku.”
Albi berusaha mencerna kata-kata Lara. “Kupikir, sejak awal kamu memang kepengin ikut.”