Atas undangan Albi, Lara menghadiri acara diskusi buku di aula kampus Uperkha. Banyak sekali yang datang. Rata-rata mahasiswa. Pembicaranya adalah dosen Lara, seorang penulis, dan dosen sosiologi, dengan moderator seorang jurnalis di Ruangkata.id. Pada sesi tanya-jawab, para peserta berlomba mengacungkan tangan. Lara merasa cukup menyimak saja bersama Albi di kursi deretan belakang.
Setelah acara selesai, Lara mampir ke Albirru. Sebuah papan nama berwarna putih bertuliskan “Albirru” dipasang di atas pintu. Terlalu sederhana, pikir Lara. Tetapi seperti itulah Albi. Tidak peduli penampilan, yang penting muatan.
Albi membuka pintu. “Silakan masuk.”
Lara melangkah mendahului tuan rumah. Matanya langsung berkelana ke rak-rak buku di samping kanan dan kiri ruangan. Udara di dalam toko didominasi aroma buku tua dan debu yang tak pernah bisa hilang. Ruangan itu seperti dada seseorang yang masih menyimpan napas dari masa lalu.
“Sorry, nggak ada kursi. Nggak ada AC juga,” katanya, minta dimaklum, sambil menyalakan kipas angin kecil begitu Lara masuk. Cuaca di luar tidak panas. Albi hanya ingin Lara merasa nyaman di antara sesak buku. Apalagi, toko yang Albi kelola sejak beberapa bulan yang lalu itu ukurannya tergolong mungil. Cuma 4x6 meter luasnya. Plus, dua ruang tambahan: toilet dan sebuah ruangan kecil yang difungsikan sebagai musala dan…
“Tempat tidurku kalau malam.”
Lara melohok. “Jaga di sini?”
Albi mengangguk. “Iya.”
Lara mengikuti Albi yang duduk di lantai.
Seorang mahasiswa yang Lara lihat tadi mondar-mandir di acara diskusi, masuk Albirru dan mengangguk santun.
Albi memanggilnya. “Ini Gilang, anak FIKOM (Fakultas Ilmu Komunikasi).”
“Hai!” Lara menyapa seraya menyambut uluran tangan Gilang.
“Ini Lara, teman kuliahku.” Albi menjelaskan. “Gilang ini, Ra, kadang-kadang nemenin aku tidur di sini. Jangan disalahartikan, ya. Kita tidur terpisah, kok.”
Lara tertawa menanggapi pernyataan Albi.
“Dia suka bantu-bantu di sini. Kadang jaga Albirru juga kalau aku lagi keluar.”
“Oh, ya?”
“Iya, Kak. Enak di sini. Bisa diskusi sama Kak Albi, ketemu banyak orang…” tutur laki-laki 20 tahun itu.
Lara mengamati mahasiswa bertubuh kurus itu. Sorot matanya mengingatkan Lara pada Albi ketika mereka pertama kali bertemu. Sorot yang menyiratkan semangat perlawanan dan kepiawaian beretorika.
“Selain Gilang, ada juga beberapa mahasiswa yang suka berkunjung dan membantuku. Sekarang mereka masih di kampus, ya?” tanya Albi pada Gilang.
Gilang mengangguk. “Masih beres-beres aula dan kayaknya langsung pulang, deh,” tuturnya. Dia lalu minta permisi ke musala yang tampaknya juga difungsikan sebagai tempat menyimpan arsip, lantas pamit pada Lara.
“Kirain ngontrak rumah,” kata Lara setelah Gilang meninggalkan Albirru.
“Nggaklah. Aku terlalu sayang pada tempat ini, sampai nggak mau pisah,” kelakar Albi. “Lagipula, biaya sewa per enam bulannya aja udah berapa. Kalau aku ngontrak rumah, dobel pengeluaran, dong.”
“Dapat banyak nggak, sih, dari jualan buku?” tanya Lara dengan hati-hati. Khawatir ini perkara yang sangat sensitif buat Albi.