Orasi di Balik Pelaminan

Rie Yanti
Chapter #20

Bab 20

Gilang baru saja membuka pintu Albirru ketika sosok perempuan yang baru dikenalnya minggu lalu berdiri sambil tersenyum tenang. “Assalamualaikum. Baru buka, ya?”

Kontan Gilang salah tingkah sudah kedatangan pengunjung saat Albirru baru buka. “Waalaikumsalam, Kak. Iya, nih. Tapi kita udah bangun, kok, dari tadi. Cuma, belum siap menyambut pengunjung aja. Hehehe.” Gilang membuka pintu lebar-lebar, menampakkan sepeda motor Albi yang masih diparkir di dalamnya. Carport di depan Albirru sangat memungkinkan untuk menampung beberapa sepeda motor. Tapi tidak aman kalau dibiarkan semalaman.

Lara baru saja berpikir kalau dia datang kepagian. Dia memang tidak tahu jam operasional Albirru. Salahnya sendiri tidak menghubungi Albi terlebih dahulu.

“Kak Lara mau beli buku atau ketemu Kak Albi?” Gilang mengeluarkan sepeda motor Albi dari dalam. “Kak Albi masih di kamar mandi, sih.”

Sesungguhnya, motif Lara mengunjungi Albirru adalah untuk bertemu Albi, selain juga menanggapi basa-basinya saat laki-laki itu mengantarnya pulang. “Mau lihat-lihat buku aja, sih. Tapi kalau Albi nggak sibuk, ngobrol-ngobrol juga boleh.”

Gilang tampak bingung. Kalau Lara membeli buku, kehadirannya tidak akan lama, sehingga Gilang tidak perlu buru-buru mengepel. Tapi kalau Lara ingin lihat-lihat, apalagi ngobrol bersama Albi, alamat lantai Albirru akan kotor seharian.

Lara mampu membaca kebingungan Gilang. Dia sadar, seharusnya dia datang siang atau sore saja. “Kalau mau beres-beres dulu, nggak apa-apa. Aku bisa nunggu di sini atau… aku bantu, deh…”

“Eit, jangan! Kak Lara masuk aja, tapi maaf masih agak kotor.” Gilang menunjukkan jejak ban sepeda motor dari tengah ruangan Albirru menuju teras.

“Nggak apa-apa, nih, aku masuk?”

Gilang mempersilakan. “Kak Albi sebentar lagi pasti keluar. Udah dari tadi, kok.”

Lara memutuskan untuk menunggu sambil melihat-lihat buku di rak dekat “kamar” Albi, karena bagian tengah ruangan akan dibersihkan Gilang.

Albi muncul dari toilet. Terkejut melihat Lara ada di sana.

“Kok, nggak bilang-bilang mau ke sini?”

Lara salah tingkah. Bingung. “Mumpung lagi libur.”

Albi tersenyum. “Tapi kamu datangnya terlalu pagi. Kami buka jam sepuluh kalau hari libur.”

Lara mencari-cari alasan. “Aku… malas pergi siang-siang. Panas.”

Tawa kecil lepas dari mulut Albi. “Iya, sih. Tapi, nggak apa-apa, ya, tempatnya dibersihkan Gilang dulu. Udah sarapan?”

Lara mengamati Albi memasak air menggunakan rice cooker. Bukan pemandangan baru baginya. Dulu, Dhita juga melakukan hal yang sama di kos-kosannya saat belum punya termos listrik.

“Udah. Kamu? Mau sarapan?”

“Cuma beli gorengan aja. Aku tinggal dulu sebentar, ya,” pamitnya.

Melihat Gilang mengambil sapu, Lara berinisiatif membantunya menyapu lantai. Gilang spontan menolak. “Kak Lara lihat-lihat buku aja,” katanya.

“Nggak apa-apa. Sambil nunggu Albi.”

Gilang pasrah menyerahkan sapu itu pada Lara. Gadis itu menyeret debu yang tak terlihat besar kecilnya ke luar toko buku yang Albi bangun dari sisa idealismenya.

“Loh, loh? Tamu, kok, disuruh nyapu?” Albi tertegun saat kembali dan melihat Lara menyapu teras Albirru.

“Bantu Gilang dikit. Itung-itung kompensasi karena datang terlalu awal,” Lara berdalih.

Lihat selengkapnya