Sudah dua bulan ini Lara rutin menyambangi Albirru—tidak setiap minggu, tapi cukup sering untuk membuat tempat itu terasa akrab baginya. Lara tidak sungkan lagi menumpang ke toilet atau salat di “kamar” Albi. Dia juga belajar cara menyampul buku dari Gilang, ikut menata buku yang baru tiba, atau membawakan makanan untuk Albi dan Gilang.
Jika Lara tidak sempat berkunjung, dalam jeda pertemuannya dengan Albi selalu ada pesan yang terkirim. Kadang Albi mengabarinya tentang buku baru, kadang mereka berbicara tentang cuaca atau hal-hal sepele yang entah bagaimana selalu memantik percakapan panjang.
Hari itu, Lara datang terlambat lantaran pagi-pagi sudah hujan. Hujan di bulan Juni, meski sudah terjadi berkali-kali, selalu menjadi keanehan. Hampir tiap hari, awan datang tanpa konfirmasi, menggantung rendah di atas kota dan menumpahkan rintik-rintik lembut seperti penyesalan karena telah menyalahi jadwal kedatangannya.
Tetapi mungkin, itulah cara semesta saling mencintai. Langit menurunkan rasa sayang pada bumi, bumi menerimanya dengan ketulusan dan kesetiaan di antara ketegangan musim. Semua terjadi di luar rencana; tak dapat dicegah dengan cara apapun.
Albi baru saja membuka pintu ketika Lara muncul dengan rambut dihiasi manik-manik cair. Dipersilakannya Lara masuk dan menghangatkan diri di antara rak-rak buku. Kipas angin untuk sementara bergeming di salah satu sudut ruangan.
Aroma kopi masih mengambang ketika Lara masuk. Tidak ada piring makanan. Lara melirik ke arah meja kasir—meja kayu biasa yang difungsikan sebagai tempat transaksi setiap ada pembeli. Di sanalah Albi meletakkan gelas kopinya yang tinggal ampas. Tanpa makanan apa-apa.
“Udah sarapan, kan?” tebak Lara.
Albi menggeleng. “Malas keluar. Ini, mau bikin mi instan.” Albi mengambil salah satu bungkus mi instan dari dalam kardus. “Mau bikin juga?”
“Aku bawakan nasi goreng dari rumah. Buat kamu dan Gilang.”
Albi memasukkan kembali mi instan itu ke dalam kardus. “Gilang nggak datang hari ini. Katanya, sih, mau belajar full di rumah. Besok dia UAS (ujian akhir semester).”
Terdengar suara denting sendok ditaruh di atas piring. Albi kembali dengan membawa piring dan sendok masing-masing dua.
“Aku nggak ikut makan, Bi. Kalau Gilang nggak datang, semuanya buat kamu.”
“Nasi gorengnya kebanyakan, Ra.”
“Bisa buat makan siang.”
“Ini udah hampir siang. Masa’ buat malam? Lagipula, kamu sarapannya pasti udah lama, kan? Seharusnya sekarang udah lapar lagi.” Albi setengah memaksa.
Lara baru menyadari. Tadi pagi sarapannya cuma selembar roti tawar dan secangkir teh manis. “Ya, sudah, aku temenin makan.”
“Nah, gitu, dong.”
Suara sendok beradu dengan piring, diselingi remuknya kerupuk oleh gigi, menjadi pemutus keheningan Albirru di pagi menuju siang hari Minggu itu. Cuaca di luar masih sendu, tetapi Albirru tidak lagi sepi sejak kedatangan Lara. Topik-topik percakapan kecil mengisi kesepian itu seperti nasi goreng yang mengisi kekosongan perut mereka.