Albi menghentikan sepeda motornya di depan sebuah rumah berpagar hitam tinggi. Tanpa melepas helm, dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, hendak memencet sebuah nomor. Sejenak dia ragu. Layakkah dia menginjak rumah ini? Pagar yang tinggi dan kokoh itu bukan tanda kemewahan di mata Albi, melainkan kestabilan—sebuah keteraturan hidup yang terasa jauh dari dirinya, kedisiplinan yang bertolak belakang dengan hidupnya yang serba praktis dan idealis.
Tetapi Albi sudah kadung janji untuk datang. Tinggal beberapa langkah saja untuk masuk halaman rumah itu. Rumah tempat belahan jiwanya tinggal bersama orang-orang terkasihnya. Salah satunya adalah sosok yang pernah Albi “lawan” beberapa tahun yang lalu.
Ini yang menjadi salah satu pertimbangan Albi untuk kembali menemui Lara selepas aksi damai tahun 2018 silam. Rendra Prasetya. Nama itu melekat sama kuatnya dengan nama Lara di benak Albi. Posisinya saja yang berbeda. Rendra berada di garda depan, melindungi Lara. Ibarat batang pohon yang menjegal arus sungai.
Keputusan Albi untuk memilih Lara sudah bulat. Kedua orang tuanya pun merestui. Tapi bukan berarti perjuangannya selesai di situ.
Sejenak Albi ragu, ingin membatalkan janjinya hari ini, tetapi mustahil. Janjinya pada Lara adalah harga mati. Tidak bisa diubah. Mau tidak mau, Albi harus mengadapi berbagai kemungkinan yang terjadi nanti. Dia sudah merasa dewasa dengan meredam suaranya. Tidak elok kalau dia memilih mundur karena alasan gentar.
Maka, jarinya pun mengetuk nomor Lara. “Aku sudah di depan,” beri tahunya setelah terdengar suara perempuan menyahut di seberang.
Tak lama kemudian, terdengar suara pintu rumah dibuka, lalu suara sandal menginjak lantai dan halaman berbatu. Terakhir, suara gembok pintu pagar.
Lara melongokkan kepalanya. Mengangguk. “Masuk.”
Albi pun turun dan menuntun sepeda motornya ke halaman rumah Lara, memarkirnya di carport, lantas merapikan rambutnya sambil berkaca di spion.
Lara mengajaknya masuk ruang tamu, tetapi Albi memilih duduk di teras. Halaman rumah Lara cukup asri. Tidak ada pohon besar, tetapi banyak tanaman hias yang ditanam di halaman maupun di luar pagar. Bahkan di teras pun terdapat beberapa pot berisi kuping gajah, gelombang cinta, dan entah tanaman hias apa lagi—Albi kurang paham soal botani. Dia hanya mampu menerka, semua ini pasti tumbuh berkat tangan dingin dan telaten Laksmi.
Udara segar yang bertiup di halaman rumah Lara sore itu seharusnya membuat Albi relaks. Tapi suara ketukan alas kaki di dalam rumah yang menggema hingga terdengar ke teras ini membuat jantungnya semakin lincah berdetak. Tangan Albi mengepal-membuka, meremas celana, lalu mencengkeram lengan kursi hingga tangannya berkeringat dingin. Kakinya diselonjor, ditekuk, disilang… Apapun yang dia lakukan, tidak ada yang membuatnya nyaman.
Di antara raung mesin pompa air, Albi mendengar suara langkah kaki mendekat. Dia ingin menoleh tapi takut.
“Sorry, ya, agak lama.”
Albi mengembuskan napas lega.
Lara meletakkan segelas minuman dingin berwarna ungu dan beberapa potong bolu meses.
“Mama masih bersih-bersih dapur, baru selesai masak. Papa lagi mandi. Minum dulu, nih, sambil nunggu.”
Albi menyeruput minumannya. Lara tertawa geli. “Kok diseruput kayak kopi, sih? Itu kan dingin, harusnya ‘glek-glek’ gitu.”
Albi tersedak. Ikut menertawakan kebodohannya. Dia menatap gelas dalam genggamannya. “Ini sirup apa?” tunjuknya pada sisa minuman di dalam gelas.
“Es bunga telang. Dikasih lemon sama madu. Tuh, tanamannya yang merambat di dekat pagar. Ini hasil eksperimenku dan mama. Enak, nggak?”
Albi meneguk minuman itu lagi. “Enak banget. Seger!”
“Kalau mau nambah, bilang aja.” Lara menyodorkan bolu meses. “Kalau ini, aku yang bikin,” katanya bangga.
Albi mengambil satu potong dan menggigitnya.
“Enak?”
Bolu itu telah melumer di mulut Albi. Manisnya pas di lidahnya.
“Enak… enak…” komentarnya.
Lara tersenyum puas. “Lagi?”
Albi menolak dengan halus. “Kenyang.”
Lara meletakkan piring bolunya kembali. Diliriknya wajah Albi. Tegang, grogi, dan khawatir. Ketiganya terbaca jelas di wajah itu.
“Tenang aja, Papa orangnya baik. Nggak segarang yang kamu bayangkan,” ujarnya, berusaha menenangkan, meski dia sendiri belum sepenuhnya yakin.
Suara langkah sandal perempuan mendekati teras. Tegas, tapi lembut.