“Jadi, Nak Albi dan Lara beda jurusan?” tanya Laksmi sambil menyendok nasi dan daging lele.
Albi merapikan sendoknya dari butir-butir nasi yang menggantung di pinggir sendok. “Iya, Tante. Ya, beda jurusan, ya, beda fakultas. Jadi jarang ketemu.”
“Fakultasnya berjauhan, sih, ya. Terus, pertama ketemunya gimana?”
Lara dan Albi terdiam. Sama-sama tidak tahu bagaimana harus menceritakan awal pertemuan mereka. “Ng… dikenalin teman, Tante.”
Albi menelan ludah. Jawabannya tidak salah. Tetapi jika Laksmi meminta jawaban lebih rinci, dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya dengan jujur tanpa membuka luka siapapun.
Rendra yang duduk di hadapan Albi, mendongak. “Dulu setelah lulus, pernah kerja di mana aja sebelum memutuskan buka toko buku?”
“Pernah melamar jadi wartawan, Om, di sebuah tabloid pendidikan. Start-up media gitu. Belum pernah terbit. Tapi nggak saya terusin,” papar Albi.
Rendra mengerutkan dahi. “Kenapa?”
“Nggak ada kontrak kerjanya, Om. Cuma dikasih surat tugas buat meliput.”
“Kok, begitu, ya? Apa perusahaannya sudah mendapatkan surat izin?”
“Itu dia, Om. Saya juga nggak ngecek, sih. Waktu itu, karena baru lulus, saya kadung senang bisa langsung diterima kerja. Jadi wartawan pula. Tapi setelah tahu menejemennya nggak bagus, saya keluar aja tanpa pamit. Perusahaannya belum profesional, sih. Hehehe.”
“Kamu sendiri memilih jadi jurnalis kenapa? Lulusan HI (Hubungan Internasional) bukannya lebih cocok jadi diplomat?”
Albi menggeleng. “Nggak tertarik, Om. Lebih suka jadi wartawan, turun ke lapangan, ngobrol sama orang-orang, menulis berita. Dulu saya daftar juga ke jurusan komunikasi. Tapi keterimanya di HI.”
“Enak, ya, jadi wartawan. Lebih menantang dan nggak membosankan, ketemu orang banyak. Sekarang, kok, malah buka toko buku? Nggak nyoba melamar jadi wartawan lagi?” tanya Laksmi.
“Nggak, Tante. Serba salah, sih. Mau melamar ke media yang sudah kredibel, sayanya belum punya pengalaman kerja. Mau nyoba ke media yang baru, menejemennya itu yang diragukan.”
“Agak kapok, ya?” tuding Rendra.
Albi tersenyum. “Bisa dibilang begitu, Om. Lagipula, orang tua saya buka toko. Jualan sembako. Mereka bilang, salah satu pekerjaan yang paling baik adalah berdagang. Ketika melamar kerja ke sana-sini dan sering ditolak, saya malah curiga, jangan-jangan pekerjaan yang cocok dengan saya adalah berdagang. Kenapa nggak saya coba?”
“Setelah itu, langsung buka toko?”
“Nggak, Om.” Albi menelan makanannya. “Saya kerja serabutan dulu. Jadi penerjemah, jasa ngetik skripsi, pernah menulis juga di media lokal, pembicara seminar, yah… pekerjaan-pekerjaan kecil seperti itulah daripada menganggur. Setelah punya uang cukup banyak, saya coba jualan buku dari mulut ke mulut. Mengajukan afiliasi dengan beberapa penerbit indie. Kalau ada buku baru, saya promosikan ke teman-teman dan dosen saya sambil saya ajak mereka untuk membuat diskusi.”
“Diskusi?” Rendra mencondongkan badannya ke depan. “Diskusi apa?”
“Diskusi buku. Numpang di kafe punya teman. Sampai-sampai seorang dosen menyarankan saya untuk mencari modal tambahan agar saya bisa punya tempat untuk jualan sekaligus mengadakan diskusi buku dalam skala kecil. Kebetulan di dekat kampus, ada satu toko yang sudah tutup. Saya coba ajukan sewa pakai modal dari orang tua saya. Seterusnya, saya gulirkan modal dan hasil penjualan untuk sewa tempat dan kebutuhan toko.”
“Yang mengurus surat izin siapa?”
“Saya sendiri. Tapi baru surat domisili usaha aja. Nanti saya urus surat-surat lainnya sambil jalan.”
“Jangan ditunda kelamaan, loh,” Laksmi mengingatkan. “Biar usahamu dinilai legal.”
Albi mengangguk. “Iya, Tante.”
“Kamu mengurus semuanya sendirian?”
“Iya, Om.”
“Nggak capek?” Laksmi nimbrung bertanya lagi.
“Capek, Tante. Tapi senang jalannya dimudahkan,” jawab Albi, bangga.
“Hebat juga, ya, kamu. Masih muda, tapi mau bekerja keras memulai usaha dari nol,” puji Laksmi. “Biasanya, kan, orang malas susah-susah dulu. Maunya langsung dapat pekerjaan yang enak.”
Hidung Albi mengembang. Lara juga turut senang.