Busa sabun mengembang dari dalam spons. Lara menekannya ke permukaan piring dan peralatan lain yang habis digunakan untuk makan malam tadi. Di bawah kucuran air keran, dia membilas semuanya hingga terasa kesat. Piring dan kawan-kawannya yang sudah bersih sempurna kini sedang meniriskan diri mereka di rak piring.
Acara makan malam bersama Albi sudah selesai. Saat ini, Albi dan Rendra sedang berbicara empat mata di teras. Lara tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Kegelisahannya kian menjadi. Dia tahu, ayahnya menyimpan sesuatu. Entah ketidakpercayaan, atau kekhawatiran. Lara tidak tahu persis apa. Dia takut pembicaraan mereka di teras akan membuat Albi berubah pikiran.
Lara hendak menguping pembicaraan mereka, tetapi Laksmi menahannya.
“Panaskan mangut lelenya, lalu bungkuskan buat Albi. Sekalian nasinya juga, ya.”
Lara pun menyalakan kompor, menyiapkan apa yang diminta Laksmi, dan menerka-nerka apa yang Rendra katakan pada kekasihnya itu. Jangan-jangan Papa berkata sesuatu yang menyakiti hati Albi… Jangan-jangan dugaannya benar: bagaimana kalau setelah malam ini, Albi berubah pikiran?
***
“Waktu masih bekerja sebagai polisi, om juga sering baca buku. Buku-buku tentang kepolisian, militer, politik. Suka tidak suka, om harus baca buku-buku seperti itu.” Rendra menyambung percakapan di meja makan tadi.
Albi tersenyum. “Sesuai profesi dan kebutuhan, ya, Om.”
“Iya. Kamu suka politik, pasti buku-buku yang dibaca juga tentang politik. Ya, kan?”
Albi mengangguk. “Kadang-kadang saya baca komik juga, sih, kalau sedang jenuh,” jawabnya sambil menghidu aroma teh lemon hangat sebelum menyesapnya.
“Ya. Baca buku-buku serius bisa bikin jenuh dan… bisa berbahaya juga.”