Tak ada yang tahu persis apa yang dirasakan Albi tadi saat membenamkan wajahnya di pangkuan Rendra. Semua orang tahu, sebagaimana halnya mempelai laki-laki, pasti ada rasa gentar, canggung, haru, dan bahagia yang bercampur menjadi satu. Albi merasakan semuanya, tapi ada satu hal yang orang lain tidak akan bisa mengerti dan dia tidak bisa mengungkapkannya.
Lara menggenggam tangannya. Di pelaminan, mereka duduk berdampingan dengan rapat seolah tidak mau dipisahkan satu sama lain. Albi tahu, Lara adalah satu-satunya orang yang bisa memahami perasaannya. Genggaman tangan Lara membuat Albi tenang dan yakin bahwa dia tidak akan pernah sendirian. Apapun yang terjadi.
Setelah satu jam lebih mereka hampir tidak bisa duduk karena harus bersalaman dan menerima ucapan selamat dari para tamu undangan, sang fotografer meminta mereka untuk berdiri dan berpose di pelaminan.
“Kak Albi peluk Kak Lara dari belakang, ya,” instruksi fotografer.
Dengan canggung Albi memeluk Lara. Tidak pernah sebelumnya dia melakukan hal seperti itu. Apalagi di depan banyak orang seperti sekarang. Di depan mertuanya pula.
“Peluk yang erat juga nggak apa-apa, Kak. Kan, sudah sah,” seloroh fotografer melihat Albi begitu salah tingkah, yang disambut tawa orang tua kedua mempelai dan sanak famili yang kebetulan berada di dekat pelaminan.
“Peluk sambil cium pipi Kak Lara, ya.” Sekali lagi sang fotografer mengarahkan gaya pengantin.
Albi akhirnya mengikuti arahan si fotografer. Dipeluknya pinggang Lara dari belakang. Erat. Disentuhkannya bibirnya ke pipi Lara dan membiarkannya di sana sampai fotografer selesai mengambil gambar mereka.
“Tahan, ya. Sekali lagi. Satu… dua… ti…”
Momen itu diabadikan dalam memori kamera, yang nantinya akan dicetak besar-besar sesuai permintaan Lara. “Buat dipajang di kamar,” katanya.
Albi menghela napas sebelum mereka kembali duduk dan menunggu tamu undangan lainnya. Lara kembali menggenggam tangan Albi. Albi membalas dengan menggenggamnya lebih erat.