Orca and The Flower Ice

Adinda Amalia
Chapter #2

01 : Bocah Antartika

Satu dua mesin kendaraan menderu dari kejauhan. Gorden jendela tersibak lebar. Cahaya bebas menerobos masuk. Seakan menyinari satu-satunya pemuda di ruang tengah.

Sio tak melepas perhatian dari kanvas 30 x 40 cm di atas kakinya yang menyilang. Menoreh warna dari satu titik ke titik lain, kemudian mengambil cat lukis lagi dari wadah kecil di atas meja.

Telinga seolah tertutup rapat. Sio sama sekali tak terganggu, padahal sejak tadi dentuman bola membentur lantai berkali-kali mendengung. “Ayo, Bang!” Jael melempar dengan presisi, hampir gagal diterima Yutha. Tak heran, Jael mengambil posisi shooting guard utama di tim basket SMA.

Yutha memuji kemampuan Jael, kemudian mengumpan bola basket.

Bola sengaja ditahan di tangan. Jael memandang pemuda lain di sofa ruang tengah. “Maaf ya, Bang Sio, kita berisik,” ujarnya sambil berusaha membuat suara imut.

Sorot lembut, kepala miring ke kanan kiri bergantian, memeriksa proporsi lukisan. “Gak apa-apa kok.”

Jael tertawa kecil. Kemudian melempar bola basket pada Yutha. “Lanjut, Bang!”

Diterima sempurna, Yutha mengembalikan bola sambil nyeletuk, “Katanya kita mau punya adik lagi.”

“Mama hamil?”

“Bukan!” Yutha dengan mudah menyerang setelah lemparan Jael sebelumnya agak lemah. “Bang Landi tadi nge-chat. Katanya Mama Papa ngadopsi anak dari panti asuhan.”

Jael mendengus. “Aku gak mau punya lawan berantem ….”

“Kali ini cewek.” Yutha lebih dulu meluruskan sebelum Jael berpikir lebih jauh tentang calon anggota keluarga paling muda.

“Seriusan cewek?” Jael tanpa sadar mendorong bola kuat-kuat, seiring semangat melonjak tinggi. Senyum lebar tergambar. Tak sabar melihat bocah imut nan cantik—dalam angannya.

Deru mesin kendaraan kali ini terdengar lebih kencang. Tak lama, pintu terbuka. “Halo,” sapa Landi. Dia menahan pintu lebih lama, memberi kode pada seseorang di belakangnya untuk memasuki rumah.

Sio yang masih sibuk berkutat dengan kuas, sapuan warna-warna dan kawan-kawannya, hampir mengumpat saat kanvas di hadapannya mendadak direbut seseorang. “Woi! Lancang!” Dia bangkit, memandang lekat gadis asing di sofa sambil berkacak pinggang. 

Sedetik kemudian, dentuman khas bola basket dan benda keras terdengar jelas di telinga Sio. Dia berbalik, ada Landi—mengangkat lengan kanan setinggi dada, seperti menahan sesuatu—dan bola basket menggelinding lirih di lantai. “Ara tahu kalo lemparan Jael bakal ngarah ke lukisanmu.”

Landi menyimpan bola basket di bagian bawah meja ruang tamu.

“Hei, kalian berdua! Sini lho!” seru Landi sebelum duduk di sebelah Ara.

Jael paling semangat berlari. Diikuti Yutha di belakangnya.

Sio mendecak kesal. Mengalihkan seluruh perhatian dari si pendatang menuju dirinya. “Apa-apaan sama anak ini? Kamu harusnya ngerti kalo karya setengah jadi pantang disentuh sama orang asing!”

 Kanvas pada tangan Ara direbut Landi, ganti diletakkan di atas meja. “Dia niatnya baik ….”

Sorot tajam Sio beralih pada Landi sesaat, kemudian kembali ke Ara. Sepasang mata bulat tak enggan membalas tatapan. Bibir tipis belum juga bergerak. Pipi berlebih seperti bakpau—Sio yakin Jael gemas ingin memakannya. Surai hitam mengkilap oleh sinar langsung melewati jendela.

“Minta maaf!” tegas Sio.

“Aku gak merasa merugikanmu,” ujar Ara. Hampir tak ada perubahan nada suara, datar layaknya perasaan dia ke aku, eh.

Sio mendengus. Memutar bola mata malas. “Kamu gak ada rasa terima kasih? Balik ke panti aja sana!”

“Sio!” Landi memperingati.

Namun Sio tak gentar.

“Yang mengambilku dari panti bukan kamu, tapi Mama Karin. Aku udah berterima kasih padanya tadi.”

Mendadak Sio meraih kanvas dari meja, kemudian dilempar keras-keras ke lantai. Suara benturan membuat Jael terkejut. Yutha memandang sedikit ngeri. Landi menahan kesal. Sementara Ara bersikap seolah tak terjadi apapun.

Sorot Sio tertuju pada Ara. Tajam mengalahkan mata pisau penggal. Gemuruh dalam dada membuat kepala panas. Sio ingin menghajar gadis itu habis-habisan, tetapi menahan diri. Dia berbalik, kemudian meninggalkan ruang tengah. 

Lihat selengkapnya