Orca and The Flower Ice

Adinda Amalia
Chapter #3

02 : Bukan Satu Potong

“Ara!” pekik Jael tepat di depan pintu kamar Ara. “Aku mau nunjukin sesuatu.”

Berselang sebentar, pintu terbuka. Ara muncul sedikit. “Aku gak peduli,” ujarnya datar. “Panggil aku lagi kalo makan malam.”

Hampir sama seperti sebelumnya, Jael dibuat mati kata oleh ucapan Ara. Melihat gadis itu hendak menutup pintu, dia buru-buru menahan. “Iya, iya …. Kita makan malam sekarang.”

Setelah sempat mengalihkan pandangan dari Jael, Ara kembali menatapnya. “Tadi katanya mau nunjukin sesuatu?”

“Nunjukin malam malam!”

Kemampuan silat lidah Jael berhasil membawa Ara turun dari lantai dua. Dia tak henti mengajak adik satu-satunya bicara. Tak peduli Ara hanya menjawab ‘iya’, ‘gak’, ‘gak tahu’, atau mengangguk kecil, bahkan tak merespon sama sekali. Jael tetap berceloteh.

Ara mengernyit setelah menuruni tangga. Remang-remang nyaris tanpa cahaya. Jendela lebar di dua sisi dinding terlihat jelas membawa sinar rembulan dari langit. Hening, padahal ada tiga manusia lagi tinggal di sini, tapi seolah ditelan bumi.

Ara sedikit tersentak saat Jael menggandeng tangannya menerobos gelap. Menyisakan bayang-bayang Jael di depannya yang hampir menyatu dengan gelap sekitar.

“Bang, kami mau makan malam!” seru Jael. Tak lama, dia berhenti. Ara di belakangnya ikut diam.

Lampu mendadak menyala. Ara berada di ruang makan. Meja putih polos berubah penuh stiker wajah lucu-lucu, kucing imut, karakter kartun mungil dengan berbagai tingkah.

Yutha memasang senyum lebar, berdiri di balik meja, tepat di hadapan Ara. Landi duduk di dekatnya. Sio agak jauh, duduk posisi miring, meletakkan tangan di atas meja dan sandaran kursi, membelakangi Ara.

Sio mendengus. “Dari sekian tema, kalian gak milih satu pun. Malah jadinya abal-abal.”

“Sederhana atau mewah bukan yang terpenting, Bang,” ujar Jael. Kemudian mendekat ke telinga Ara, berbisik, “Bang Sio sungguh-sungguh bikin tema pesta buat kamu lho.”

Sio mendecak tak suka.

“Gak ada banyak waktu, Bang. Jadi aku cari cara sederhana aja.” Jael mengambil sisa stiker belum tertempel yang tergeletak di atas meja. Menempelkan satu di pipinya, dan satu lagi di pipi Ara. “Asalkan jadi pesta, cukup kok!”

Ara agak tersentak saat Jael tiba-tiba menyentuh pipinya. Ingin menolak atau melepas stiker lucu begitu saja, tapi melihat sumringah si wajah Jael, stiker yang sama pada pipi Landi, Yutha, Sio—dia pasti dipaksa memakainya, menurut Ara—dan semua persiapan ini, Ara tak bisa bersikap bak penghuni jahanam.

“Kamu kaget, Ara?” Yutha berseru semangat.

Ara menggeleng.

Lihat selengkapnya