Langkah cepat terdengar dari tangga lantai dua menuju bawah. Tas ransel bergoyang bukan main, menimbulkan suara khas. “Bang! Hari ini Ara pake seragam sama kayak aku?”
“Ara belum resmi sebagai siswa SMA Raya, jadi belum,” ujar Landi. Memeriksa dokumen-dokumen dalam map. “Nanti jam sembilan aku sama Ara mau ke sekolah, daftarin Ara.”
Jael melonjak senang.
Gadis di sebelah Landi tampak tenang memperhatikan kakak tertua sibuk dengan lembaran-lembaran. Setelan kemeja dan rok hampir serupa dengan milik Jael, tapi berbeda di warna dan motif.
Milik Jael kemeja putih dengan garis hitam membentuk kotak-kotak, dasi merah bata, dan celana hitam. Sementara punya Ara kemeja batik biru langit tanpa dasi serta rok krem polos.
“Berangkat sana,” seru Landi.
“Aku masih mau lihat Ara ….” Jael sama sekali tak berpindah posisi.
Landi menutup map. “Keburu telat, El.”
Bibir Jael mencibir. Mengangkat strap ransel yang agak melorot. “Iya ...,” ujarnya berat hati. Berpamitan, kemudian mengambil sepeda motor di parkiran dan melaju pergi.
Landi beberapa kali meminta Ara memeriksa kelengkapan dokumen, memastikan telah benar. Dia juga mengingatkan bahwa Ara akan langsung menjalani tes untuk menentukan kelas mana yang sesuai untuknya.
Sio sibuk dengan lukisan. Masih di tempat sama seperti kemarin, sofa ruang tamu, tempat terbaik untuk mendapat cahaya matahari dari luar karena memang jendela di sana paling lebar.
Ara tak menggubris. Mereka hanya bicara singkat saat dia dan Landi berpamitan berangkat ke SMA Raya. Jarak dari rumah menuju sekolah sekitar lima kilometer. Landi membawa mobilnya.
“Hari ini aku libur kerja. Makanya aku sempetin buat nganterin kamu, Ara.” Landi menoleh pada gadis di sebelahnya sesaat. “Mau keliling-keliling dulu? Biar pas pertama masuk nanti gak bingung.”
“Gak perlu.”
“Itu perlu!” tegas Landi. Jika tak begitu, Ara akan tetap saja menolak. Dia harus lebih memimpin dan membuat Ara bergerak. “Pokoknya keliling dulu! Jangan ngeremehin ya, aku ini alumni SMA Raya!” ujarnya bangga.
Sesuai janji Landi, keduanya tak langsung menuju kantor usai mengambil posisi parkir mobil. Ara terlihat biasa saja, mengamati sekitar dengan tenang. Justru Landi yang semangat sendiri, nostalgia oleh kenangan putih abu-abu yang terukir sempurna.
Enam tahun lalu Landi resmi lepas dari SMA Raya. Meniti perjuangan baru di kampus, sampai memperoleh karir sekarang. “Ada banyak bagian yang berubah … tapi aku masih hafal betul koordinat tempat ini.”
Landi mengajak Ara berjalan melewati lorong. Sesekali guru lewat mengenali Landi, mereka mengobrol sebentar kemudian melanjutkan langkah. Landi tak henti menjelaskan ruang-ruang dan bangunan di sekolah.
Terkadang Landi kelepasan seru sendiri menceritakan masa lalunya. Maklum, hari-hari di SMA memang paling indah. Canda tawa, cinta-cintaan ala monyet, dihukum satu kelas, dan lainnya.
“Kamu pasti bakal ngerasain itu juga, Ara.”
Ara tak menyahut. Dia tak yakin dengan ucapan Landi. Tetapi tak sopan bila menyangkal begitu saja, mengingat Landi delapan tahun lebih tua darinya.
Ide bagus Landi menunjukkan kelas tempat Jael belajar. Keduanya berdiri tujuh meter dari pintu kelas dan Jael menyadarinya. Jael melambai gembira. Kemudian tiba-tiba kicep. Pasti guru pengajar memperingatinya. Membuat Landi tertawa kecil.