“Hari ini aku bisa berangkat sekolah sama Ara?” Jael siap dengan seragam rapi. Tas ransel menggantung di punggung.
“Masih lusa, Jael,” Landi menerangkan. “Sekolah juga perlu nyiapin bangku, buku, data-data dan keperluan lain buat Ara.”
Jael cemberut. “Ya udah deh …,” ujarnya lirih. “Berangkat dulu, Bang, Dek!”
Sio menyahut sesaat setelah dia turun dari lantai dua. Landi di ruang tengah mengingatkan agar Jael hati-hati. Ara menunduk sedikit, memberi hormat.
Jael memasang senyum lebar sebelum meninggalkan rumah, menyisakan tiga penghuni—Yutha sudah berangkat dari pukul setengah enam pagi untuk mengikuti bimbel tambahan, khusus kelas dua belas.
“Bocah Antartika!”
Ara menoleh.
“Jangan deket-deket ruang tamu,” ujarnya sambil berlalu melewati Ara.
“Bukannya kamu yang salah, Sio?” Landi melirik Sio yang duduk di sofa, meletakkan kanvas di atas pangkuan. “Ruang tamu bukan studio lukis. Iya, ‘kan Ara?”
Ara mengangguk.
“Aku gak mau dengerin pendapat Bocah Antartika.” Sio membuka kotak cat air di atas meja. Mengambil kuas untuk dicelupkan sedikit, kemudian menoreh sapuan pada kanvas.
“Itu pendapatku,” ujar Landi.
“Pendapatku juga karena aku mengiyakan.” Dua pasang mata mendadak tertuju pada satu-satunya gadis di sana. “Salah kah? Aku punya hak untuk bicara.”
Sio meletakkan kanvas di atas meja. Satu siku berpangku pada lutut. Memandang Ara lekat. “Hei … selama ini kamu tutup mulut dan baru ngomong pas suasana panas. Kamu sengaja nyimpan tenaga buat ngatain aku?”
“Aku hanya meluruskan keadaan.”
“Woi, Bocah Antartika!” Sio tiba-tiba memekik.
“Kamu aja yang selama ini sinis.”
Sio bangkit dari sofa. “Dasar—” Langkah dan ucapannya terhenti. Suara hantaman dua benda keras dan barang-barang jatuh terdengar beriringan. Sebagian besar wadah cat air tumpah. Tersisa beberapa warna primer yang selamat.
“Kamu mengacaukannya sendiri, Sio,” ujar Landi sebelum lelaki itu menyalahkan orang lain.
Lap di bagian bawah meja asal diambil. Jemari Sio pelan-pelan membersihkan air warna-warni berserakan. Mengeringkan wadah cat, kemudian diletakkan di atas meja. “Aku tahu, Bang,” ujarnya lembut.
Landi tak habis pikir akan perubahan sikap Sio. Layaknya singa di tengah hutan, ketika didekati ternyata seekor marmut. “Itu apa yang kamu buat? Tugas?”
“Iya,” jawab Sio, lagi-lagi suaranya halus. “Besok pagi harus dikumpulkan dan aku kehilangan warna-warna penting yang seharusnya dipakai.”
Beranjak dari posisi semula, Landi menghampiri Sio. “Ada waktu gak buat beli cat baru?”
“Kalau pun ada, percuma aja, Bang. Di sini gak ada toko yang jual cat kualitas sama kayak ini. Apalagi warnanya, aku butuh coral pink, gold … masih banyak lagi.” Sio mengusap sisa warna di lantai. Lap putih berubah seperti pelangi.
Landi mengangkat alis khawatir. “Terus gimana dong tugasmu?”
Sio memaksa senyum. “Gak apa-apa, aku bisa minta tugas pengganti ke dosen.”
“Coral pink bisa didapat dengan mencampur beberapa warna primer.” Seorang gadis menghampiri keduanya.
Paras tenang Sio kembali penuh kerutan. “Sok tahu, Bocah Antartika!” ujarnya ketus.
Landi menolah pada Ara. “Kamu bisa?”