Senja menerobos melalui celah-celah rumah, terasa hangat di kulit. Ara menyipit saat memandang ke atas. Duduk pada sofa empuk yang menjadi benda paling tak asing dari rumah ini. Tak ada Sio, dia bebas memakai ruang tamu.
“Ara, kamu belum sekolah ya?”
Suara lelaki terdengar sesaat setelah pintu terbuka.
Ara menoleh.
Seseorang di ambang pintu tersenyum lebar. Seragam lengkap, dengan ransel digantung pada satu lengan. “Kamu kaget? Jael masih di sekolah. Dia bilang ada kegiatan extra. Dia kan anak basket.”
Ara hanya memandang Yutha, tanpa mengatakan sepatah kata.
“Bang Landi!” seru Yutha. “Aku mau keluar sama Ara bentar, gak apa-apa, ‘kan?”
Dari sofa ruang tengah, Landi agak mendongak, berusaha memandang seseorang di bagian depan rumah, meski hasilnya nihil. “Udah sore, jangan lama-lama! Adek kamu cewek, gak boleh keluar malam!”
“Siap, Bang!”
“Ganti baju dulu, Yu!”
Baru satu langkah ingin menghampiri Ara, Yutha terpaksa mengganti arah menuju tangga. Pergi ke lantai dua untuk memilih setelan santai di kamar, kemudian turun lagi. “Ayo, Ara!”
“Ke mana?”
Yutha mengedipkan mata. “Gak jauh, kok. Tenang aja.”
Hampir tak mungkin Ara menerima begitu saja. Yutha yang memaksanya. Ditambah Landi yang berkata bahwa Ara perlu berkeliling untuk mengenal lingkungan tempat tinggal, sekaligus menghabiskan waktu dengan kakak agar lebih akrab. Terpaksa, Ara menurut.
Sepeda motor melaju sekitar kecepatan 40 km/jam. Yutha sesekali membagi kisah dan mendapat respon-respon sederhana dari Ara.
Sepuluh menit terlewati. Yutha memarkir kendaraan pada kedai kecil di depan bangunan sekolah dasar. Tidak luas, hanya satu lapangan, dikelilingi dua deret bangunan membentuk leter L. Sepertinya berisi enam ruang untuk kelas, tiga untuk guru, dan sisanya untuk keperluan lain.
Beberapa anak muda bersantai di kedai. Yutha menyapa, mengobrol singkat sekaligus memperkenalkan Ara si adik baru—awalnya mereka mengira Yutha membawa pacar.
“Mereka temen-temenku SD.”
Ara pikir kedai tersebut tujuannya. Ternyata salah. Yutha mengajaknya memasuki area sekolah dasar. Sampai ke belakang, menerobos pagar yang hanya terbuat dari susunan kayu ringkih.
“Dulu di sini sawah. Lalu ada perusahaan yang membelinya, rencana mau dibuat pabrik. Waktu itu aku gak tahu pasti, tapi sekarang aku paham kalo proyek itu gagal karena karyawan mereka korupsi.”
Tepat di balik bangunan sekolah dasar, ada tanah seluas mata memandang. Rerumputan segar setinggi mata kaki. Pohon-pohon kecil. Bebungaan mulai warna kuning cerah sampai ungu gelap.
Surai Ara bergoyang oleh deru angin pelan. Maniknya semakin tak lekang pada pemandangan di hadapan mata. Bulatan jingga bercahaya, Ara tahu benda itu akan segera menghilang.
Sunset di pantai, puncak gunung, resort mewah, tak ada apa-apanya.
Sedikit mendongak, Ara melihat bulatan lain. Lebih kecil, warna putih tipis. Belum-belum sudah penyusul saja. Usai surya meninggalkan bumi, pasti itu yang mengganti posisi menerangi langit.