Langkah kaki buru-buru terdengar dari jauh. Kemudian kian jelas. “Hari ini, ‘kan?” Dia ikut duduk di depan meja bersama dua orang yang telah hadir lebih dulu. “Jael bisa berangkat sekolah bareng Ara, ‘kan?”
Si gadis yang menjadi pusat perhatiannya sejak tadi, diam saja. Terlihat tenang memasukkan satu sendok makanan ke dalam mulut.
“Iya, El,” jawab Landi.
Senyum Jael mengembang semakin lebar. Semangat menghabiskan sarapan di atas piring.
Tiba-tiba, Jael terpikir sesuatu. “Bang Sio belum pulang?”
Landi menggeleng. “Jadwal kuliah lagi padat katanya,” terang si kakak sulung. “Abis ini aku juga harus berangkat kerja, kayaknya lembur. Kalo kamu sampai rumah lebih dulu, langsung tutup pintu lagi ya. Yutha tadi pesen pulang telat, ada belajar bareng.”
Sambil menguyah, Jael mengangguk pelan. “Rumah bakal sepi ya nanti ….”
“Seenggaknya lebih tenang, El.” Perdebatan Sio dan Ara terjadi hampir setiap saat. Kini saat Sio sibuk dengan urusan kampus, Landi bisa sedikit bernapas tenang. Dia nyaris menganggap ucapan Sio benar, bahwa Ara pendiam karena menyimpan tenaga untuk melawan argumennya.
Jael tertawa kecil. Paham maksud kakaknya.
Mendekati pukul enam lebih tiga puluh menit, Jael selesai mencuci piring dan memastikan meja makan bersih kembali. Dia menggandeng Ara—sempat terkejut mengetahui gadis itu tak menolak, padahal biasanya Ara tak suka didekati apalagi skinship. Berpamitan, lalu mengambil sepeda motor dan melaju pergi.
Sampai sekolah, mereka berpisah saat Jael langsung ke kelas sedangkan Ara pergi ke ruang guru lebih dulu. Dia diminta datang ke kelas bersama dengan guru pengajar.
Layaknya siswa baru, Ara memperkenalkan diri, kemudian dipersilahkan duduk pada kursi kosong yang tersedia. Pelajaran masih berlangsung, ada saja teman-temannya yang mengajukan pertanyaan tentang Ara. Dia tak terlalu menjawab, lebih fokus ke penjelasan guru.
Sikap dingin dan agak tertutup Ara memang menarik perhatian khusus. Hampir seluruh penghuni kelas merasa penasaran. Oleh karena itu, Ara buru-buru pergi saat bel istirahat berbunyi atau dia akan diserang ribuan pertanyaan.
Ingat ucapan Landi, lapangan dan kantin adalah tempat favorit para siswa. Di sana pasti berkumpul banyak orang dan mereka sibuk dengan temannya masing-masing. Jadi, Ara pikir dia bisa tenang.
“Ara!”
Baru mau menginjakkan kaki keluar dari lorong, Ara terhenti.
Lelaki tak asing menghampiri. Dia mengenakan celana kain dengan warna sama seperti rok Ara dan atasan kaos putih polos. “Gak ada urusan penting, ‘kan?” Jael menggandeng tangan Ara, mengajaknya memasuki lapangan. Kemudian meminta Ara duduk pada bangku di sisi pinggir. “Aku mau main basket sama temen-temen, kamu lihat ya!”
Sapaan dari para siswa berkaos putih tertuju pada Jael sesaat setelah dia memasuki arena kembali. Sementara lainnya yang memakai kaos hitam tampak was-was. Satu orang lagi memakai setelan seragam biasa, berdiri di tengah lapangan, lalu menyorakkan aba-aba.
Permainan dimulai oleh tim kaos putih. Menguasai bola. Perlahan menyerobot ke daerah lawan.
Ara tak terlalu peduli. Dia beralih memperhatikan kursi-kursi kantin yang hampir penuh, bangku pinggiran lapangan didominasi siswi bergerombol, dan beberapa siswa laki-laki di dekat lorong sepertinya mendiskusikan laju permainan basket.
Tiba-tiba terasa sesuatu mendekat dalam kecepatan tinggi. Ara menoleh untuk memastikan. Di saat bersamaan, Jael berlari kencang, melompat, dan merentangkan tangan tepat di hadapan Ara.
Suara dentuman bola dan benda keras terdengar, juga Jael yang jatuh terkulai di depan Ara. “Nyaris ….” Dia bangkit. Mengibaskan baju yang kotor. Kemudian berbalik guna menatap Ara. “Gak apa-apa, aku bakal mengawasimu kok.”
Jael langsung kembali ke lapangan. Dia juga mengingatkan teman-temannya agar memastikan arah bola melayang, jangan sampai terjadi sesuatu.
Pandangan Ara tak lekang jadi lelaki itu. Jael dan anggota timnya cepat menguasai permainan. Bola sebentar dipegang kaos hitam, sudah kembali ke kaos putih. Seseorang di dekat ring lawan melempar bola kembali ke tengah. Diterima Jael sempurna, lalu jump shoot. Bola memasuki ring. Satu poin untuk tim kaos putih.
Lima lelaki berseru gembira. Mengerumuni Jael. Tos keren ala cowok ganteng si most wanted sekolah. Ada yang mengacak rambutnya kasar, tetapi tetap disambut senyum lebar oleh Jael.
Permainan usai, Jael mengajak Ara ke kantin. Dia meminta gadis itu duduk sambil menunggunya memesan makanan dan minuman.
Kepulan asap dari mangkok bakso membuat keringat Jael mencucuran kian deras, pasca bermain basket. Dia membiarkan Ara menyeruput jeruk hangat dan satu dua kali menyuap sendok bakso, sedangkan Jael perlu waktu untuk menstablikan napas serta mendinginkan tubuh.