Pantulan sinar matahari menutup sebagian layar ponsel, terlihat silau oleh semburat jingga dari jendela besar tepat di belakang dua pemuda. “Ini bagus gak sih, Bang?”
“Hmm ….” Yutha memeriksa detail-detail pada foto gedung opera yang tampil di layar ponsel. “Iya sih … tapi opera bikin aku ngantuk.”
“Musik lebih modern kayaknya lebih asik ya?”
“Eh, Jael,” ujar Yutha tiba-tiba. Membuat pemuda di sebelahnya yang hendak bicara, mengurungkan niat. “Kamu lihat poster itu gak sih … yang lagi viral? Ada band terkenal yang mau perform di kota.”
Pupil Jael berangsur membesar. Senyum mengambang lebar. Dia mengiyakan ucapan Yutha penuh semangat.
Di saat bersamaan, pintu terbuka. Seorang pemuda lain memasuki rumah. “Aku pulang.”
“Oh! Bang Sio!” seru Yutha sambil menatap seseorang yang baru datang. “Gak ada kelas?”
“Masih minggu depan.” Sio langsung berlalu tanpa menggubris dua adiknya. Sorot lesu seperti tak ada motivasi hidup. Paras berbalut kulit putih kian menjadi-jadi dengan sedikit rona pucat. Perjalanan dari kampus ke rumah tak memakan waktu sebentar, apalagi sebelumnya Sio mendapat banyak tugas.
“Bang, mau langsung tidur?” tanya Jael.
Sio mengangguk kecil. “Mandi dulu sih.”
“Kami ada rencana.” Sudut bibir Yutha terangkat tinggi.
“Rencana?”
Senyum Jael terlihat sumringah. Dia beranjak dari sofa ruang tamu. “Habis mandi ganti baju bagus aja, Bang. Jangan rebahan dulu!” ujarnya saat melewati Sio, kemudian terus berjalan memasuki rumah lebih dalam.
Berselang sebentar, Jael telah berada di depan pintu salah satu ruangan di lantai dua. “Ara, ayo!” serunya dari luar.
Pintu terbuka perlahan. Seorang gadis muncul. “Apa?”
Jael mengedipkan mata. “Ini weekend, ‘kan? Kamu apa gak bosen di rumah terus?”
“Biasa aja.”
Pipi Jael mengembung. “Ayolah ... Udah lama kita gak jalan-jalan!”
“Kita?” Ara mengoreksi. Bagaimana bisa Jael berkata seperti itu, padahal Ara baru datang beberapa hari lalu dan mereka berlima—atau berdua pun—belum pernah pergi keluar rumah bersama-sama.
Sejenak Jael bungkam. “Emm ... maksudku, sejak terakhir kali aku, abang, dan ....” Seharusnya dia menyebut nama Ara, tapi di saat terakhir kali pergi, mereka hanya berempat—Ara belum ada. “Ya gitu lah pokoknya!”
Ara terdiam sebentar. “Aku mau belajar.”
“Yakin?” Jael masih tak mau kalah. “Ikut atau sendirian di rumah?”
“Sendirian.”
“Ara!” Jael meninggikan suara. “Aku tahu kamu murid kelas intensif, tapi gak mulu-mulu berduaan sama buku! Ayo!”
Sementara di lantai satu, Landi entah sejak kapan berdiri di depan cermin lemari ruang tengah. Setelan jas ungu gelap, kemeja putih, dan dasi merah maroon.
“Kalian mau kemana?” Landi berbalik guna menatap Yutha setelah menyadari pertanda sesuatu.
Yutha menunjukkan layar ponsel. “Ada acara di kota.”
Langkah terdengar dari tangga. Sio memakai jeans hitam, kemeja putih lengan panjang yang dirangkap hoodie hitam, lalu di luarnya lagi ada kaos daffodil yellow lengan pendek. Namun, itu tipuan, aslinya hanya satu lapis.
Sio menghampiri dua orang yang sudah hadir. Ikut menengok layar ponsel Yutha. “Menarik kayaknya tempat tujuan kalian.”
Landi mengangguk. “Boleh juga.”
Berselang sebentar, dua manusia menyusul turun dari lantai dua. “Aku gak sabar ….”
“Kalau gitu, selamat bersenang-senang.” Landi merapikan map beserta lembaran di dalamnya.
Jael terkejut. “Loh? Bang Landi gak ikut?”
Reaksi Yutha tak jauh berbeda. “Kenapa, Bang?”
“Aku harus kerja,” jawab Landi singkat. "Kalian pake mobilku aja gak apa-apa. Aku bisa bawa sepeda motornya Sio.”
Jael menahan Landi yang hendak melangkah. “Bang, please …,” ujarnya dengan nada suara dibuat-buat agar lucu dan raut wajah sok imut.
“Jael, aku harus—” Baru saja Landi terpikir kalimat terbaik untuk menguatkan argumennya, tetapi mendadak mengurungkan niat ketika tatapannya bertemu dengan Ara.
Sepasang bola mata bulat memandang Landi lekat. Seolah memancar kilau, binar-binar, terkesan polos tanpa dosa. Bulu mata lentik menambah pesona. Membuat Landi susah mengalihkan perhatian.
“Kenapa gak reschedule aja?” Jael menawar.
“Minggu ini sempurna,” sahut Yutha.
“Aku gak ikut memprovokasi, lho,” ujar Sio lembut.
Sekilas Landi menatap Sio, kemudian beralih pada Ara lagi. Masih sama, manik cantik tertuju padanya. Tanpa sepatah kata, Ara berhasil menaklukan Landi. “Ya udah deh ….”
Bekerja di akhir pekan memang tak lazim. Sebelumnya Landi dihubungi agar segera datang untuk menyelesaikan beberapa hal, tetapi dia izin, berhalangan hadir. Sempat atasan membujuknya, tetapi kemampuan silat lidah Landi lebih unggul.
Mesin menderu pelan, lalu berangsur kencang. Mobil keluar dari mobil. Gerbang ditutup rapat, memastikan kediaman telah aman sebelum meninggalkannya.
Landi meminta Yutha duduk di depan sebagai pemandu jalan—Landi malas menggunakan aplikasi peta di ponsel.
Keadaan semula tenang-tenang saja, berubah ketika Sio mulai menggerutu, “Aku gak suka deket Bocah Antartika!” Dia melirik sinis Ara yang duduk di tengah. “Bang! Gak usah nyalain AC! Di sebelahku ada Bocah Antartika, udah dingin!”
Tiga reaksi tak mendukung terdengar bergantian. Landi jelas tak mendengar ocehan Sio. Yutha dan Jael berkali-kali membela Ara.
Car free day biasa diselenggarakan ketika weekend. Itu artinya, hari ini. Landi harus memutar karena tujuan mereka—Taman Geanyar—menjadi salah satu lokasi diberlakukannya kebijakan tersebut.