Tawa khas anak kecil menggema berkali-kali. Satu dua berlarian ke sana kemari. Ada yang sibuk membuka bungkus permen. Lainnya duduk sambil bermain.
Yutha melempar bola karet. “Tangkap!”
Bocah lelaki empat tahun tampak kehilangan kesempatan. Terpaksa berlari mengejar bola.
“Kamu pinter bergaul sama anak kecil, ya?” Lelaki seumuran Yutha datang menghampiri.
Sebenarnya Yutha hendak datang ke rumahnya, tetapi dia meminta Yutha kemari saja. Akhir pekan dihabiskan dengan mengurus anak-anak di panti asuhan milik orang tuanya, dia tak punya banyak waktu di rumah.
Yutha tertawa kecil. “Di rumah kami ada saudara yang lebih muda, jadi ... aku terbiasa.”
Si lelaki terkekeh. Kemudian beranjak. “Bentar ya, aku ambilin camilan.”
Daripada bosan menunggu, Yutha berniat bermain lagi dengan anak-anak. Sesaat setelah Yutha mengambil boneka beruang di dekatnya, dia mendadak mengurungkan niat.
“Maksudmu cewek aneh itu? Dia diadopsi seseorang beberapa hari lalu.”
Beberapa meter di belakang Yutha ada meja dan kursi tempat pengurus panti asuhan berkumpul sambil mengawasi anak-anak. Yutha yakin, suara barusan dari dua wanita usia kepala tiga yang ada di sana.
“Gak apakah itu? Kurasa cewek itu berbahaya.”
“Psikolog bilang keadaan mentalnya baik. Tapi kalo dilihat sehari-hari ya gitu … kamu tahu sendiri lah.”
“Serem ih ... Gimana kalo dia mencelakai keluarga barunya?”
Semakin sulit rasanya Yutha mengabaikan pembicaraan mereka begitu saja. Ada hal kecil yang menarik perhatiannya.
“Denger-denger … dia ada masalah ya sama keluarga aslinya sebelum kebakaran itu?”
Kebakaran? Kali ini telinga Yutha dipasang baik-baik. Tak ada meski harus mengabaikan para bocah yang protes memintanya bermain bersama, asal dia bisa mendengar lebih banyak.
“Iya …. Anak kecil merekam memori dengan baik, ‘kan? Trauma pasti bawa pengaruh buruk buat dia.”
“Cewek itu kayaknya tipe anak nekat yang gak takut berbuat apa pun …. Aku bener-bener berharap keluarga barunya aman.”
“Tapi kenapa ya ditaruh di sini?”
“Yutha!” Si lelaki datang membawa toples berisi cookies. “Ambil aja yang kamu suka.” Dia juga meraup sebagian kue, menyodorkannya pada anak-anak. “Nih ….”
Bocah itu menerima senang hari. Tak lupa mengucap terima kasih.
“Oh ya.” Si lelaki meraih sesuatu dari saku, lantas memberikannya pada Yutha. “Ini bagianku.”
Mereka berada di kelompok biologi yang sama. Semua sepakat membagi tugas. Karena materi terlampau banyak, akan memakan waktu dan kuota internet apabila dikirim lewat daring. Itu sebabnya Yutha yang berperan sebagai editor hasil akhir, rela berkeliling mengambil flashdisk berisi file pekerjaan masing-masing rekannya.
Usai mengobrol sambil menghabiskan cookies, Yutha pamit pulang. Sesuai dugaan, anak-anak menahannya untuk tetap di situ sedikit lebih lama. Segala kalimat manis diucapkan Yutha guna membujuk para bocah. Jika tidak, dia tak akan bisa kembali ke rumah sampai kapan pun.
Terbiasa berada di kelas ketika tengah hari, Yutha merasa hampir mati kepanasan saat harus bekendara sepeda motor dari panti asuhan menuju rumah. Di tengah perjalanan, dia berhenti untuk membeli minuman di minimarket.
Setengah isi botol habis dalam sejekap. Sengatan matahari terasa, meski Yutha terteduh. Bersantai sambil mendinginkan tubuh dan mengembalikan tenaga, tiba-tiba sesuatu terlihat ke angan.
“Yang mereka bicarakan tadi … Ara?”