Suara pelayan menyapa pelanggan masuk terdengar beberapa kali. Telinga Sio sudah kebal untuk mengabaikan hal itu. Meja di hadapannya berisi dua gelas yang telah kosong. “Makasih ya kemarin,” ujarnya lembut, selaras dengan paras manis.
“Kamu bekerja baik banget, Sio. Di saat kepepet kayak gitu masih kepikir alternatif.”
Sio tertawa kecil. Ingin menyangkal ucapan temannya barusan, tapi rasanya enggan. Pasalnya, yang memberi ide tentang alternatif cat warna gold, coral pink, dan lain-lain kemarin adalah Ara, bukan Sio.
“Tugasmu bagus kayak biasa. Dosen terus-terusan muji kamu tahu gak? Temen-temen di belakang pada gerutu, untung kamu cakep, kalem lagi.”
Senyum paksaan Sio mengembang. “Kalo mereka iri, bilangin suruh latihan lebih keras,” ujarnya lembut.
“Kamu beda, Sio …. Ada bakat.”
“Justru orang yang berbakat gini, jadi tantangan kalian,” ujar Sio. “Apa kerja keras bisa mengalahkan bakat? Kamu harus nyari jawabannya.”
Lelaki di depan Sio menunduk sesaat. Sudut bibir terangkat lebar. “Kamu jago menghibur orang.” Dia bangkit. Menepuk pundak Sio. “Lain kali kamu bakal kuajiun buat terlibat acara kampus.”
Sio tersanjung. “Kamu berlebihan.”
Lelaki itu tersenyum. Dia telah mengenal Sio cukup lama. Tahu seperti apa kemampuan Sio dan dia sangat mengandalkannya.
“Sudah mau kembali?” Sio menahan si lelaki yang hendak melangkah. “Kelas masih besok sore.”
“Aku ada keperluan di rumah. Keluarga menungguku. Pergi dulu, Sio.”
Dia mengangkat tangan tangan. Dibalas Sio dengan menepuk telapak tangannya dan memegang jemari satu sama lain kuat-kuat. Gaya salam cukup keren di kalangan lelaki. “Hati-hati.”
“Iya, bosku!” Lelaki itu meninggalkan kafe.
Sio bertahan di tempat. Memanfaatkan wifi gratis, juga menikmati dekorasi interior kekinian. Setelah lima menit berlalu, baru dia beranjak. Mengambil sepeda motor di parkiran, kemudian melaju pulang.
Otak Sio bekerja dua kali. Memastikan kendaraan berada di posisi benar nan aman serta berusaha mengingat nama asing yang sepertinya akan sangat penting suatu saat nanti. “Apa nama zat additive kemarin ya?” gumamnya. “Flu ... flo ... flores?” Sio mengacak rambut pelan. Bahkan ketika gusar, dia masih kalem. “Aku keliatan buruk banget di depan Bocah Antartika.”
Sio menarik tuas rem ketika lampu berwarna merah pada mobil di depannya menyala.
“Lagian zat additive itu apa? Efeknya apa? Buat apa? Aku baru tahu ada gituan buat ngeracik cat air!”
Sedikit menambah kecepatan dan Sio akan bisa mendahului kendaraan di depan. Namun, dia mengurungkan niat. Lebih baik melaju santai di saat syaraf-syaraf otaknya bergelut.
“Kalo sampe ada yang tahu kemarin aku sebenernya dibantu Bocah Antartika, bisa malu banget.”
Sio menghela. Memasuki komplek perumahan tempat tinggalnya, dia melihat taman ukuran 10 x 6 meter yang menjadi ikon daerah sekitar sini. Anak-anak kecil bermain bersama, berlari riang. Beberapa ibu di pinggir pasti sedang mengawasi putra-putri.
Pemandangan biasa ketika Sio pulang-pergi dari rumah ke kampus, kafe, atau lainnya. Namun kali ini, dia melirihkan kecepatan sepeda motor sampai benar-benar berhenti, sekitar lima meter dari taman.
Sio mengernyit. Selain para bocah dan orang tua, ada dua orang yang menarik perhatian khusus. Dari dua kategori sebelumnya, mereka tak masuk. Dilihat fisiknya, seperti usia lima belas sampai sembilan belas tahun. “Itu … Bocah Antartika?”
Gadis remaja duduk di kursi, pada sisi kiri taman. Sio yakin tak salah mengali. Itu gadis yang hadir di rumahnya, mungkin baru beberapa hari, tapi Sio telah mengamati tiap ciri-cirinya.
Satu hal yang hampir menimbulkan keraguan, gadis itu mengobrol dan bercanda tawa. Wajahnya penuh ekspresi. Jauh dari kata ‘datar’ atau ‘dingin’ yang melekat kuat pada Ara.
Lelaki di sebelah gadis itu terlihat asing. “Siapa dia?” Surai pirang memancar kesan hangat dengan sedikit semburat kemerahan dan keemasan di beberapa sisi.