Jendela besar tertutup gorden. Dari celah-celah, terlihat gelap luang. Hembusan angin membuat ranting-ranting dan dedaunan pohon bergesekan, menimbulkan suara khas yang terdengar lebih kencang.
Meja besar di tengah, tujuh kursi berjajar mengelilingi. Piring-piring tertata rapi menjadi lima bagian, sedangkan dua kursi sisanya dibiarkan kosong.
“Ara mana?” Yutha melirik porsi makanan yang di depan kursi yang belum berpenghuni.
Jael bersiap beranjak. “Aku panggilin.”
Sebelum Jael sempat meninggalkan meja, seorang gadis lebih dulu muncul dari lantai dua, menuruni tangga. “Pas banget! Cepet ke sini, ayo makan malam!” serunya sambil duduk lagi.
Ara menempati kursi di antara Yutha dan Jael. Mengamati menu malam ini sekilas, lalu menatap seseorang di depannya. “Emm …. Mas,” panggil Ara lirih.
Semua menoleh pada gadis itu. Namun, sosok yang dimaksud justru beranjak setelah meraih ponsel di dekatnya. “Ada telepon …. Bentar, ya.”
Tersisa empat orang di ruang makan.
“Kamu mau ngomong apa, Ara?” ujar Yutha.
“Kapan hari … aku ketemu kucing.”
“Kucing yang SD waktu itu?” Yutha meletakkan sendok.
“Bukan,” jawab Ara. “Aku menemukannya di tempat lain.”
Jael menyantap nasi dan lauk. “Lalu?”
“Aku mau memeliharanya.”
Semula Sio sibuk makan, tak menggubris tiga adiknya. Mendadak menoleh, menaruh perhatian penuh. Jael yang sedang mengunyah makanan, seketika tersedak. Yutha buru-buru memberinya air.
Ara menatap kanan-kiri bergantian. Tak paham mengapa kakaknya tiba-tiba seperti ini.
Satu gelas air habis oleh Jael. Dia menepuk-nepuk dada, rasanya masih ada yang mengganjal di sana. Napas berantakan, perlahan membaik. Sekilas dia melihat seseorang mendekat. “Bang Landi …,” ujarnya lirih.
Yutha melirik searah pandang Jael. “Aku paham, aku paham,” sahutnya. Beralih menatap Ara. Yutha memasang wajah seolah ada keadaan gawat. Dalam diam berteriak, ‘Ara, jangan! Pokoknya jangan!’
Ara terdiam. Dia tak terlalu mengerti apa yang terjadi. Namun, ada baiknya mengikuti ucapan Yutha. Tak sengaja Ara menoleh pada Sio, pemuda itu langsung membuang muka malas.
Landi duduk di tempat semula. Memandang sekilas salah satu adiknya yang tampak tidak santai. “Kenapa, Jael? Makan hati-hati.”
Jael terbatuk. “Maaf ….”
Dari sudut pandang Landi, tak ada apa pun yang terjadi. Dia melanjutkan makan malam.
Jael mendekat pada Ara. Membisik, “Akan kujelaskan nanti ….”
Semua sepakat membuat jadwal cuci piring, menyapu, dan kegiatan rumah lainnya. Kali ini, giliran Landi dan Ara yang membersihkan peralatan makan malam.
Jael dan Yutha duduk di sofa ruang tengah. Televisi menyala hanya sebagai pengecoh. Sesungguhnya, mereka tak henti memperhatikan dua orang di depan wastafel. Mengawasi, sekaligus memastikan Ara tak bicara.
Sio mendekati dua adiknya di ruang tengah. “Biarin dia ngomong ke Bang Landi, tahu rasa nanti!”
“Bang Sio …,” Jael memperingati. Dia terlihat gelisah.
“Dia datang! Dia datang!” Yutha memberi kode.
Jael langsung memperbaiki sikap. Pura-pura menonton televisi dengan santai.
“Kalian ngapain?” Landi menghampiri. Diikuti Ara di belakangnya.
“Nonton …,” ujar Yutha. Senyum paksaannya terlihat kurang alami, semoga Landi tak menyadarinya.
“A ... Abang mau ikut?” Jael sok baik dengan menawari. Padahal dalam hati, dia ingin Landi segera pergi.
“Aku harus ngerjain tugas.” Sio lebih dulu beranjak.
Landi berpikir sesaat. “Kayaknya aku ada kerjaan. Aku perlu nulis beberapa laporan,” ujarnya. “Maaf ya, gak kumpul barang.”
Yutha dan Jael kompak tertawa kecil. “Gak ... gak apa-apa, Bang,” ujar Yutha.
“Kerja … kerja aja dulu. Daripada diulur-ulur nanti numpuk,” Jael menambahi.
Senyum Landi mengembang lebar. Bangga medengar dua adiknya bisa bicara seperti itu. Dia merasa telah mendidik dengan benar, mereka pasti telah tumbuh dewasa. “Nikmati waktu kalian.” Landi pergi meninggalkan ruang tengah.
Yutha dan Jael beberapa saat menahan senyum paksaan. Lalu perlahan luntur.
Melihat Ara hendak melangkah, Jael langsung memegang lengannya. “Ara!”
Yutha memberi kode menggunakan tangan agar Ara mendekat.
Menurut, Ara ikut duduk di sofa.