Jemari mungil Ara meraih bulu kucing pelan. Yutha sulit mengalihkan pandangan. Dia bisa mematahkan argumen Ara—bahwa hewan itu sama dengan kucing yang dilihatnya di dekat rumah—kapan saja. Namun, sorot penuh keyakinan, tanpa sedikit ragu terbersit, dan perubahan kecil yang membuat paras gadis itu sedikit lebih lembut, membuat Yutha mengurungkan niat.
Dua pemuda itu tak memiliki cukup hati batu untuk menolak permintaan Ara. Mereka membawa serta kucing tersebut ke dalam mobil. Kian singkat jarak menuju rumah, semakin menurun kecepatan mobil. Biasanya otak Yutha tanggap menyusun kata-kata, tetapi kali ini dia sungguh tak tahu harus berbuat apa ketika berhadapan dengan Landi nanti.
Bola bulu oranye-putih tidur melingkar di pangkuan Ara. “Tapi gimana? Kalian bilang Mas Landi kemungkinan gak setuju?
Yutha menghela. Dua meter dari gerbang masuk rumah, dia menghentikan mobil di pinggir jalan. “Ara beneran mau pelihara kucing itu?”
“Orca.”
“Baiklah, Orca.” Yutha memilih menurut atau semua tak akan selesai. “Gak mau biarin dia bebas di alam?”
Ara diam. Dia memandang Orca lekat. Tatapannya perlahan menjadi sayu.
Tangan kiri Yutha menyibak rambut ke belakang agak kasar. Hati lembutnya tak tahan melihat si adik tersayang merasa sedih. Ara sebelumnya hampir tak pernah menunjukkan ekspresi. Ini untuk pertama kalinya, tetapi dia harus tersakiti.
“Oke, oke … gini ….” Yutha memeras otak. “Cara yang paling aman itu … kita pelihara Orca tapi gak dirumah. Jadi dia tetep berkeliaran gitu, kita siapin makanan di luar,” terangnya. “Gak keliatan kan kalo kita pelihara?”
“Asal Bang Landi gak tau aja,” sahut Jael. “Kan aneh kalo ada makanan kucing di deket rumah tiap hari.”
Yutha mengerutkan alis. “Bener banget ... kita harus super hati-hati nih,” ujarnya lirih. “Kalo sampe ketahuan bohong, sembunyiin sesuatu, dan pelihara kucing, Bang Landi bisa—”
“Kalian ngapain gak buru-buru masuk?”
Seketika Jael dan Yutha kompak melonjak. Wajah pucat seolah melihat hantu. Sementara Ara diam-diam menyembunyikan kucing di bagian bawah mobil.
“Ba ... baru aja mau masuk.” Yutha memaksa senyuman. Tawa kecilnya terdengar aneh.
“Buruan ya, makan malam udah siap di meja,” seru Landi. “Aku pergi bentar ke warung, nyari kerupuk.”
“Hati-hati, Bang,” seru Jael. Bersikap baik, juga secara halus mengusir kakak sulungnya.
Baru sejenak bisa bernapas lega setelah Landi melangkah menjauh dari mobil, tiba-tiba si bola bulu mengeong keras tanpa dosa. Sontak ketiganya saling menatap. Ara meski wajahnya masih datar, tak bohong jika dia juga gelisah.
“Suara apa tadi?” Landi mendadak menengok dari jendela mobil.
“Gak ... gak ada apa-apa, kok.” Yutha keringat dingin. “Iya, ‘kan, El?”
Jael mengangguk cepat. Terlihat jelas tidak santainya.
“Iya, ‘kan, Ara?” Yutha mencari target lain.
Ara juga mengangguk. Bedanya, dia bisa bersikap stay cool.
Landi belum juga beranjak. Mata teliti mengamati tiga adiknya. Membuat mereka kian tak tenang.