Orca and The Flower Ice

Adinda Amalia
Chapter #15

14 : Misteri Lelaki di Taman

Meja besar dikelilingi tiga pemuda dan seorang gadis. Landi dari dapur membawa beberapa piring di atas loyang. Sembari tersenyum lebar, dia mempersilahkah adik-adiknya mengambil bagian. 

Saat-saat di mana bulan menggantikan posisi surya belum lama, sempurna untuk berkumpul. Melepas lelah dari rutinitas harian.

“Bang, ada olimpiade bentar lagi!” seru Jael.

“Yap,” Sio menyahut. “Kampusku yang ngadain.”

Jael terkejut. “Serius?” Beralih menatap satu-satunya gadis di sana. “Serius, Ara?”

“ISG,” Sio lebih dulu menjawab, sambil menyebut singkatan dari institut tempatnya belajar. “Iya, ‘kan, Bocah Antartika? Kamu pasti jadi peserta.”

Ara mengangguk.

“Bidang apa yang kamu ambil?” tanya Yutha.

“Astronomi.”

“Benarkah?” Yutha mendadak antusias. “Aku suka banget sama astronomi. Aku punya banyak bukunya, akan kupinjamkan padamu, Ara.”

“Makasih.”

Yutha membalas dengan senyum lebar. Dulu dia mengincar kelas intensif, ingin turut serta dalam kejuaraan astronomi. Sayang, hasilnya nihil. Kekecewaan menggelayuti kuat, tapi seketika hilang saat melihat Ara memiliki kesempatan dan sepertinya akan sukses di bidang itu. Yutha merasa bangga.

“Astronomi lumayan sulit. Pesertanya cuma diambil dari kelas intensif. Itulah kenapa aku gak berkesempatan ikut sama sekali,” terang Yutha.

“Aku yakin kamu pasti bisa, Ara!” seru Jael.

Pembicaraan olimpiade ini mengingatkan Ara akan sesuatu. “Mas Jael, gimana?”

“Hmm ….” Jael terdiam sebentar. “Pak Sam bilang akan ada seleksi buat siswa kelas reguler.”

“Berapa yang diambil dari reguler?” Yutha bertanya.

“Gak tentu,” jawab Jael. “Selama memenuhi kriteria, bakal dimasukan ke tim.”

Yutha mengangguk paham. “Semoga beruntung, El.”

Sudut bibir Jael terangkat lebar, pengganti ucapan terima kasih atas dukungan.

“Sio, kamu jadi panitia?” Landi mencomot topik tak jauh berbeda.

“Juri,” ujar Sio, “buat bidang seni lukis.”

Tiga pemuda lainnya kompak mengalihkan pandangan menuju Sio, membuka mulut kagum, bertepuk tangan pelan. Bahkan Ara tampak mengangguk kecil, salut pula.

“Padahal kamu masih mahasiswa,” ujar Landi.

Senyum tipis Sio mengembang. Sudah biasa menerima berbagai pujian, tetap saja merasa tersanjung.

Lebih dari satu jam berlalu sejak makan malam usai, Yutha mengobrak-abrik lemari. Mencari buku-buku bertema sama yang sudah hampir tiga tahun ini ditinggalkan, astronomi. Setidaknya dia menemukan lima buku yang terlihat layak.

Yutha mengetuk pintu kamar Ara. Dia tersenyum setelah si pemilik ruangan membuka pintu. Langsung masuk untuk meletakkan tumpukan buku ke atas meja belajar Ara. “Gak usah khawatir. Ini semua buat kamu,” ujarnya. “Gak perlu dikembalikan.”

Ara mengangguk.

Yutha menepuk pundak Ara pelan. “Semangat!”

Dari lantai dua, Yutha menuruni tangga. Berpapasan dengan Jael yang meletakkan bola basket secara kasar ke dalam keranjang di belakang rumah, menyambar gelas di dekat dispenser dan langsung meminumnya agresif.

Yutha menepuk pundak Jael. “Bertahanlah! Jangan maksain tubuh kalo capek.” Dia berlalu menuju dapur.

“Aku ngerti …,” gumam Jael sambil jalan sempoyongan. Asal duduk di karpet, menyandar kaki sofa ruang tengah sambil menghela napas.

Lihat selengkapnya