Senyum Yutha mengembang lebar. Biasanya saat fajar dia harus sarapan sendirian, hari ini ada Sio menemani—Landi masih seperti biasa, mengerjakan sesuatu di meja makan.
Sio ada keperluan mendadak di kampus—berhubungan dengan olimpiade yang diadakan Institut Seni Gala—sehingga dia perlu berangkat pagi buta, bersama Yutha. Keduanya berkendara bersama dengan sepeda motor masing-masing, sebelum berpisah di persimpangan.
Rumah semakin sepi ketika tiga penghuni sisanya selesai sarapan dan pergi ke sekolah atau tempat kerja.
Sampai malam hari tiba, baru tempat ini menjadi ramai kembali. Terutama ketika mereka berkumpul di satu ruangan, menghadap hidangan. Perbedaannya, Ara kali ini membawa serta salah satu buku astronomi pinjaman Yutha.
Mendadak Landi menarik buku dari depan Ara. “Makan aja dulu.”
Sontak Ara beralih menatap Landi. Dia mengangguk, kemudian mulai melahap makanan.
“Gimana persiapanmu?” tanya Landi.
“Bagus.”
“Berapa hari sebelum olimpiade?”
“Lusa kita berangkat,” jawab Ara.
Landi mengangguk paham.
Yutha memandang satu siswa yang juga semangat mengikuti olimpiade. “Jael, gimana denganmu? Jadi ikut, ikan?”
“Besok baru tes buat siswa reguler.” Jael memasukkan suapan besar ke dalam mulut.
Landi tersenyum tipis. “Semoga beruntung.”
“Aku mau bikin cokelat hangat.” Ara beranjak dari kursi.
“Stok air hangat habis, Ra. Kamu harus rebus dulu,” ujar Landi, sekaligus membiarkan gadis itu membuat minumannya sendiri.
“Iya.”
Tiga orang di ruang makan sibuk melanjutkan kegiatan. Lagipula Ara bukan anak kecil, mereka tidak perlu overprotective terhadapnya. Dia juga sudah mengenal segala titik rumah dengan baik, termasuk dapur.
Jumlah air di dalam panci berkurang, gelembung-gelembung dan suara khas terdengar. Di sisi lain, bubuk cokelat telah dituang ke gelas. Ara mengangkat panci berisi air panas. Api kompor yang masih menyala mendadak membuat jantungnya berdetak kencang.
Ara gemetaran. Susah payah mengambil alih kendali, tetapi tubuh bergerak dengan sendirinya. Tanpa sadar melangkah mundur.
Landi tak sengaja menoleh. Dia terbelalak mengetahui kondisi Ara yang jauh dari kata baik-baik saja. Baru hendak menghampiri, Orca lebih dulu memegang dua lengan atas Ara. Menyadarkan gadis itu kembali.
Ara tersentak. Kemudian menatap sekeliling bergantian secara cepat. Napas menderu-deru. Angan sungguh terlepas beberapa saat lalu.
Orca merebut panci dari tangan Ara. “Hari-hati,” ujarnya lirih. Dia mematikan kompor, merapikan beberapa peralatan dapur, lalu menuang air panas ke gelas berisi bubuk cokelat yang telah disiapkan Ara sebelumnya.
Ara agak menunduk. “Maaf.”
Usai mengaduk coklat hangat, Orca menyodorkan gelas pada Ara.
Ara menerima perlahan. Mengucap terima kasih seraya memandang Orca.
Dari kejauhan, Landi tak henti memperhatikan keduanya. Dia mengenyit, mengetahui sorot Ara saat ini terasa baru baginya. Terkesan lebih lembut. Di saat itu pula, Landi menyadari seolah ada pembatas ada Ara-Orca dengan si empat bersaudara.
Bola mata Landi bergeser ketika Ara berjalan menuju ruang makan. Gadis itu mengambil buku, sedangkan tangan satunya memegang gelas coklat hangat. “Aku kenyang.” Dia pergi.
“Ara! Makanmu belum habis,” seru Landi, lantas mendengus. Gadis itu tak menggubrisnya.
Rasanya kian tak tahan saat mengetahui Orca hendak mengikuti Ara. Yutha dan Jael bertanya-tanya ketika Landi beranjak dari kursi—tetapi mereka diam saja. Landi bergegas menghampiri Orca. Menarik bagian belakang kaosnya. “Kita perlu bicara.”