Perundingan panjang antara Yutha dan Landi jatuh pada aksi lanjutan pendekatan. Perlahan tapi pasti, mereka akan menggeser posisi Orca dari sisi Ara.
Yutha membawa gelas cokelat hangat, diletakkan di meja ruang tamu. Dia berdiri di dekat gadis itu, belum ingin merasakan empuk sofa. “Ara.”
Ara mengangguk, paham bila Yutha membuat itu untuknya. “Makasih.”
Ketika Ara kembali fokus pada buku di tangannya, Yutha menatap tajam pada kucing oranye-putih di pangkuan gadis itu.
Tak lama, Landi menghampiri dua orang—tiga, termasuk Orca dalam mode kucing—yang telah hadir lebih dulu. “Belajarmu belum selesai?”
Ara menggeleng. Dia mengambil gelas cokelat hangat, menyeruput sedikit, lalu meletakkannya lagi.
“Gak mau istirahat dulu?” tawar Landi.
“Besok udah olimpiade. Aku gak boleh lengah.”
Mendengar jawaban si adik, Yutha dan Landi tak berani berkomentar langsung. Keduanya saling tatap. Masing-masing terkesan miris. Pemikiran mereka masih sejajar.
“Kalo gitu …,” ujar Yutha lembut, “aku duduk di sini boleh gak? Nemenin Ara.”
Ara mengangguk.
Dua kakaknya langsung menyambar sofa di kanan kiri Ara. Mengetahui Yutha hendak mengatakan sesuatu, dia segera mendahului, “Tolong jangan bicara lagi, aku butuh konsentrasi.”
Keduanya kompak melebarkan mata. Sejenak mereka blank oleh kalimat menusuk dada. Sudut bibir perlahan terangkat membentuk senyum masam. Sama aja ….
Ponsel Landi bergetar panjang. Dia segera mengangkat panggilan telepon.
Sebelum sempat Landi mengucap salam, seseorang di seberang menyerang dengan suara kencang, “Landi! Kamu biarin adikmu bawa mobil sendirian?”
Landi memutar otak bingung. “Kurasa ….” Dia ingin menjawab ‘tidak’, tetapi lebih baik memeriksa dulu. Bangkit dari tempat duduk, susah payah curi pandang akan parkiran di halaman samping rumah. Mobilnya tak ada.
Decakan kesal terdengar dari telepon. “Lain kali lebih bijaklah! Cepat kemari sekarang!”
Jantung Landi berdetak sedikit lebih kencang. Hati-hati bertanya, “Apa terjadi sesuatu?”
“Adikmu ....”
Perlahan Landi terbelalak. Dia mematung. Tak sepatah kata pun keluar.
Walau berharap kondisi baik-baik saja, Yutha menoleh pada Landi guna memastikan. Diikuti Ara yang sudah merasakan pertanda.
“Sial!” Landi tiba-tiba melangkah pergi. “Aku bakal bawa motornya Jael, Yutha bawa motormu sendiri sama Ara!”
Ara terkejut. “Aku juga?”
Masa bodoh belum memahami apa yang terjadi, Yutha tahu mengikuti ucapan Landi bukan pilihan buruk. Dia asal menarik tangan Ara, memaksanya beranjak dari sofa. “Ayo!”
Si kucing di pangkuan Ara terjatuh, bersamaan dengan suara khas pintu dikunci. Hewan itu memiringkan kepala. Mengeong sekali.
Hembusan angin menerpa kencang. Ara hanya bisa menyipit, memandang jalanan kurang jelas. Sebenarnya dia ingin bertanya kemana akan dibawa, sadar jawaban segera muncul dengan sendirian, Ara memilih diam.
Mereka berbelok di depan salah satu rumah. Tiga sepeda motor parkir bersebelahan—Sio sampai bersamaan.
“Aku buru-buru dateng waktu dibilang Jael kenapa-napa!” Sio datang dari kota. Di sana dia perlu memberi kabar pada juri olimpiade—yang diselenggarakan Institut Seni Gala—agar bersiap-siap dan besok segera hadir. Seharusnya Sio langsung kembali ke kampus, tetapi kabar dari Ram memaksanya mengubah tujuan.
Jael duduk di pelataran rumah, menyandar pilar. Ada pria mendekati usia tiga puluh di sebelahnya. “Lihat nih adikmu, Landi!” Itu Ram, teman lama Landi.
“Maaf, Ram …. Aku teledor,” ujar Landi lirih sambil menghampiri mereka.
Sebuah kendaraan roda empat masuk ke pekarangan rumah Ram. Sisi depan, kanan—mungkin kiri dan belakang juga—lecet di mana-mana. Beberapa sudut berbentuk tak lagi seperti seharusnya. Bekas ban tergambar sampai lima belas meter dari sini.