“Ayo, semangat!” seru Bu Rin seraya menggiring murid-muridnya.
Tempat duduk dan ruangan peserta olimpiade astronomi telah ditentukan oleh panitia. Ara berada di ruang tiga. Duduk di deretan depan, paling tengah.
Seluruh kursi telah penuh. Seseorang—sepertinya mahasiswa—memberi arahan tentang tata cara pengerjaan soal olimpiade. Ada dua orang pria duduk di depan ruang, menghadap para peserta. Dilihat dari usia dan perawakan, Ara bisa menebak mereka dosen, merangkap juri. Ara semakin yakin ketika mereka mengucap pesan dan semangat kepada para peserta olimpiade.
Bel menggema di penjuru Institut Seni Gala, tanda seluruh olimpiade dimulai. Bidang olahraga akan memakan waktu sampai beberapa hari ke depan hingga juara ditentukan. Bidang seni diperkirakan dua hari, sedangkan bidang akademik yang paling sebentar, hanya empat jam waktu pengerjaan. Setelah itu tinggal menunggu seluruh hasil diumumkan secara bersamaan.
Ara keluar bersama peserta lain setelah bel tanda batas akhir pengerjaan soal berbunyi. Dia tak langsung kembali ke titik kumpul seperti arahan Bu Rin. Tak apa, lagipula mereka juga perlu menunggu peserta bidang seni SMA Raya menyelesaikan sesi masing-masing untuk hari ini.
Pantulan cermin kamar mandi menampilkan paras Ara dan sebagian rambut poninya basah oleh balutan air. Dia memandang dirinya lekat-lekat. Mengingat sepuluh soal pilihan ganda, lima esai singkat, dan lima esai panjang. Ara rasa semua terjawab tanpa asal-asalan.
“Jangan pikirkan apa pun. Kalo gagal bawa nama sekolah di podium teratas, awas kamu!”
Kalimat itu terus berputar di kepala Ara. Tak bohong bila hal-hal lain beberapa kali mengusik. Namun, seharusnya performa gadis itu tetap stabil. “Aku bisa …,” ujar Ara pelan. Sorot penuh arti memancar kuat.
Terik matahari melemahkan sengatannya. Bertengger di sisi barat, kesulitan menembus lapisan awan. Surya tak tahu bila halaman Institut Seni Gala penuh oleh ambulan. Satu dua ranjang didorong memasukinya. Seragam tak asing yang dikenakan mereka membuat Ara mengernyit
Guru-guru—familiar bagi Ara—berhamburan. Belasan siswa berbalut perban, luka, dibantu berjalan oleh beberapa orang menuju ambulan. Wajah-wajah tak dikenali Ara—mungkin mahasiswa, panitia olimpiade—ikut mondar-mandir.
“Ara, maaf ….” Bu Rin memasang wajah melas bercampur gelisah. “Ini di luar dugaan. Banyak peserta bidang olahraga dari sekolah kita yang cedera. Guru-guru kewalahan, jadi Bu Rin mau gak mau turun tangan.”
“Gak apa-apa, Bu,” ujar Ara tenang.
Bu Rin berat hati melanjutkan kalimat, “Kamu seharusnya pulang sih, tapi ....”
Ara terdiam, menunggu.
“Bus dua bermasalah,” lanjut Bu Rin. “Siswa yang sehat udah pada pulang pake bus satu, sayang kamu gak kebagian tempat.” Terlihat jelas beliau merasa terpaksa ketika menjelaskan barusan.
Bola mata Ara sedikit membesar. “Saya sengaja ditinggal?”
“Kami dengar kakakmu ada di kampus ini. Ninggalin kamu adalah pilihan terbaik karena kamu bisa menghubungi kakakmu.”
“Bu Rin!”
Panggilan dari seseorang membuat Bu Rin menoleh belakang. Beliau memberi kode pada orang itu, lalu beralih pada siswinya. “Gitu ya, Ara!” seru Bu Rin sebelum pergi meninggalkan Ara.
Ara terdiam di tempat. Memperhatikan sekeliling penuh orang-orang cemas, bergegas melakukan berbagai hal. Dia menghela usai tiga detik mencerna keadaan. “Kakak?”
Ponsel dari saku diraih. Empat kontak teratas berisi nama-nama yang kini dia panggil dengan embel-embel ‘Mas’.
Peristiwa hari lalu mendadak melintas dalam benak. Dia mengingat jelas sorot tajam Jael padanya, meski sekilas. Suara tegas Landi menggetarkan dada. Aura tak menyenangkan memancar dari Yutha dan Sio.
Ara menyimpan ponsel di saku. Helaan napas terdengar. “Aku mau cari cara pulang sendiri.”
***
Gemintang mendampingi rembulan tiada lelah. Awan-awan menepi, mempersilahkan penghuni bumi menyaksikan bahari gulita cakrawala. Angin berlari kesana kemari. Sensasi dingin menerobos tiga lapisan pakaian, membuat menggigil hingga tulang.
Seorang gadis duduk di sisi pinggir kursi kecil. Ditemani lampu jalan tak jauh darinya. Ketika surya menguasai, banyak bus pribadi ISG silih berganti menjemput penumpang di tempat itu. Namun, tidak dengan sekarang.