Gaya sederhana khas anak kos, meja kecil di lantai sebagai tempat menaruh piring. Sebelumnya, Sio pamit sebentar untuk memberi makanan. Hanya nasi dan ikan goreng kecil-kecil.
Lebih baik daripada tidak mengisi perut. Ara tak protes, lagipula Sio sudah bersikap baik padanya. Dia sadar pemuda itu curi-curi pandang sejak tadi. Tak tahan, Ara mendadak menatapnya lekat seraya berkata, “Kenapa, Mas?”
Terlihat jelas Sio sempat terlonjak. Syukur dia tak tersedak makanan. Buru-buru membuang muka. “Enggak!”
Sio tak bisa mengelak rasa penasaran dalam hati. Berselang lama setelah makan malam, tanpa sadar lagi-lagi dia memandang lembut Ara yang sedang mengamati beberapa lukisan terpampang di dinding kamar.
“Kamu marah atau apa sama … mas-mas lain?” Sio akhirnya buka suara. “Tentang kemarin, maksudku.”
Perhatian gadis itu beralih pada si pemuda, kemudian dia menunduk. “Aku gak marah.”
“Lalu kenapa? Kamu kayak menjauh gitu.”
“Aku emang menjauh.” Bicara Ara tak bersemangat.
“Kenapa?” Sio meninggikan suara.
“Kurasa Mas Jael marah padaku.”
Sio tak benar-benar mengetahui apa yang terjadi. Dia berada di kota, lalu mendapat kabar dari Ram terkait kecelakaan tunggal Jael. Mereka langsung bertengkar sebelum Sio mendapat informasi jelas. Namun, dilihat dari ucapan Jael, pergeseran posisi bungsu sepertinya memancing masalah.
“Mas Landi juga marah, kayaknya Mas Yutha pun iya.” Ara tampak murung. “Itu semua karena aku,” lanjutnya lirih.
Sio agak mengerutkan alis. “Hei, emang aku marah? Sampai kamu ikut-ikut menjauhiku juga.”
“Mas Sio gak suka keberadaanku dari awal.”
Skakmat. Mendadak Sio bungkam. Alasan itu jauh lebih kuat.
“I ... Itu ….” Sio berusaha mencari sanggahan. “Intinya,” dia tiba-tiba meninggikan suara, “masalah Jael, Landi, sama Yutha itu cuma konflik biasa.” Sio mengangguk-angguk. “Yah, udah sering.”
Ara sekadar melirik Sio. Tak semudah itu percaya.
“Gak apa-apa, bentar aja paling udah baikan lagi.”
Belum juga ada reaksi dari si gadis.
“Gini deh!” Sio mulai gusar. “Kayak yang kubilang tadi, besok kita pulang. Apa pun yang terjadi di rumah, aku bakal membelamu,” ujarnya. “Gak usah mikir kamu gak berhak tinggal di rumah lagi. Masih ada aku, yang ngerasa gak punya masalah sama kamu.”
“Tapi Mas Sio gak suka keberadaanku—”
“Kapan?” ujar Sio cepat. “Aku suka banget berdebat! Candaan kasar, woah itu seru banget!” Dia terkekeh. “Itu sempurna dilakukan sama kamu!” Rautnya sok yakin.
Sejak tadi duduk di tepi ranjang, Ara memandang kosong ke arah lantai tepat di bawahnya. Pikiran tenggelam bak kapal selam mengarungi samudera. Perlahan, sudut bibir Ara terangkat sedikit. Wajah bulat datar berubah manis.
Sio menyadari. “Kamu tersenyum!” Dia kian yakin ketika pandangan Ara berganti tertuju padanya, masih dengan ekspresi serupa yang membuat pesona gadis itu menjadi-jadi. “Di antara kami berempat, kamu pertama kali liatin senyum ke aku,” ujar Sio pelan. “Suatu kehormatan.”
Ara menggeleng. “Yang pertama kali lihat senyumku itu Mas Yutha.”
Belum genap lima detik Sio berbangga diri, seluruh daya dan motivasi hidup mendadak hilang. Dia mendengus. Menggerutu tak jelas.
Melihat reaksi Sio, Ara tergelitik. Senyum tipisnya sedikit melebar. Tawa kecil terdengar menggemaskan.
“Seriusan deh! Kamu paling antusias kalo liat aku susah.” Sio mencibir.