Kendaraan roda dua berhenti di parkiran halaman samping rumah. Seorang gadis turun dari boncengan. Tak kunjung melangkah, meski si pemuda yang sebelumnya memegang setir, kini telah berjalan menuju pintu.
Sio berhenti dan berbalik. “Ayo!”
Ara hanya diam.
“Gak apa-apa.” Sio ingin gadis itu ingat bahwa dia telah menjanji akan membelanya, apa pun yang dikatakan saudara lainnya nanti. “Aku bakal di rumah selama beberapa hari!”
“Sungguh?” Bola mata bulat Ara kian cantik ketika berbinar-binar.
Sio mengangguk mantap. Dia menghampiri Ara, kemudian menggandeng tangannya. Berjalan beriringan menuju pintu dan memasuki rumah. “Abang! Adek! Aku pulang!”
Detak jantung Ara meningkat. Tatapan tajam Jael tempo hari melintas di benak. Takut hal sama terjadi lagi, Ara menunduk sambil mengeratkan pegangan pada tangan Sio.
“Ara!”
Sedikit memberanikan diri, Ara mengangkat kepala. Dia kejutkan oleh Jael yang tiba-tiba memeluknya. “Kenapa baru pulang?”
Sio terlihat kesal. Meski begitu, tetap bisa mengendalikan kekuatan yang dikeluarkan untuk menarik Jael agar menjauh dari Ara.
Susah payah Ara menyembunyikan muka. Tak ingin kakaknya melihat semu merah muda menyala di pipi.
“Teman-teman dari kemarin bilang udah pada di rumah, tapi Ara malah gak bisa dihubungi.” Jael seperti ingin menangis.
“Kamu gak tau?” ujar Yutha usai menyambut Ara dengan senyuman paling manis. “Tim olahraga banyak yang cedera, sisa siswa sehat pulang pakai bus satu karena bus dua mogok. Tapi, ada satu siswa gak bisa ikut pulang karena kapasitas bus gak muat.”
Jael terkejut. Sungguh baru mengetahui hal itu.
“Ara yang dipilih buat ditinggal karena ada Bang Sio di kampus,” lanjut Yutha.
Bibir Jael mengerucut. Hati kecil tersayat mengetahui sang adik tercinta harus menjadi korban. “Jahat ….”
Langkah terdengar. Berselang sebentar, Landi menyusul ke ruang tengah. “Mau cokelat hangat, Ara?”
Ara tersentak melihat Landi bersikap ramah dan santai saja padanya. Padahal, Ara sudah menyiapkan mental dan menyusun kata-kata apabila Landi membahas terkait insiden kecelakaan tunggal Jael hari lalu.
“Atau yang lainnya?” tawar Landi sekali lagi.
“Dalgona,” ujar Ara lirih.
Landi bergumam. Meminta gadis itu mengulangi ucapan karena dia tak mendengar.
“Dalgona strawberry.” Sudut bibir Ara terangkat sedikit. Pipi tembamnya membuat tiap orang semakin tak tahan ingin mencubit.
Landi, Yutha, Jael mematung bak tersambar petir usai melihat beruang kutub berjalan santai di gang perumahan.
Sedikit berbeda, Sio diam-diam curi pandang pada gadis di sebelahnya. Tanpa sadar mengembang senyum dan semburat merah muda tipis di pipi. Tak terlalu terkejut melihat raut manis gadis itu.
Walau Ara bilang Yutha adalah orang pertama yang melihat senyumnya, Sio masih merasa istimewa setelah menjadi salah satu kepercayaan Ara untuk berbagi kisah.
“Ayo kita beli!” seru Landi penuh semangat.
Mentari tak lama lagi meninggalkan bumi. Cahaya jingga di ujung barat memberi tanda pada bintang-bintang agar segera hadir menghias gelap cakrawala.
Mobil keluar dari pelataran rumah. Jael memastikan gerbang telah dikunci, lantas duduk di kursi tepat di sebelah Landi. Belum-belum, aura mencekam dari kakak sulung membuat keringat dingin bercucuran.
“Gara-gara kamu, sekarang mobilku kelihatan baru.” Landi mengelus rambut Jael dengan kasar. Senyum paksaan Jael mengembang, dia terlihat tersiksa. “Makasih, lho.”
“Sa … sa … sama-sama, Bang.” Sekujur tubuh Jael bergetar hebat. Dia melirik Landi. Pemuda itu seolah ingin menaruhnya di atas piring bersama saus dan bumbu kacang. Jael buru-buru mengalihkan tatapan ke jalanan.
Satu-satunya gadis, duduk di tengah. Kucing oranye-putih tidur melingkar di pangkuannya.