Fajar datang dengan senyum jauh lebih lebar hari ini. Angin menderu pelan. Ranting-ranting bergesekan, menimbulkan bunyi khas yang menyaingi lembutnya suara Sio. Kicau burung sesekali terdengar, ikut serta dalam orkestra pagi ini.
Sio dan Yutha mengobrol di ruang tamu. Ara hanya sesekali menimpali, senyum tipis bertahan lebih lama karena dia berhasil memancing amarah Sio.
Keadaan berbanding terbalik dengan masa-masa persiapan olimpiade. Canda tawa Jael pecah layaknya semula lagi. Telah lupa murungnya ketika gagal menjadi anggota tim basket utama. Buku juga telah lepas dari tangan Ara.
Ikatan hangat para kakak laki-laki dan adik cantiknya terbentuk kembali, bahkan lebih erat. Kucing oranye-putih tak mau ketinggal, meski sekadar tidur.
Kakak sulung melintas dari bagian dalam rumah menuju pintu. Jas rapi, sepatu pantofel bertali, lengkap dengan tas kulit.
“Bang Landi kemana? Hari minggu padahal.” Yutha mengalihkan perhatian dari Sio dan Ara yang sibuk berdebat.
“Ada yang perlu kuurus.” Landi melambai, mengucap salam, lantas bergegas pergi.
Si bola bulu membuka sebelah mata. Memandang Landi, kemudian terpejam lagi dan mendengkur.
Kian tinggi posisi matahari, suhu ruangan berangsur menyiksa kulit pula. Seakan tak peduli, keadaan di ruang tamu justru semakin ramai tak terkendali. Andai halaman sekitar rumah tak luas, tetangga pasti sibuk protes.
Di atas meja, terpajang beberapa jari milik empat orang yang duduk melingkar.
Jael menyeru, “R, s, t, u, v, w!”
“Washington, United States!” Otak encer Yutha bekerja sempurna. Belum ada jawaban dari pemain lain, dia mengambil poin lagi. “Wellington, New Zealand!”
Ara memandang Sio dan Jael bergantian dengan santai. Sementara dua kakaknya berpikir keras mengingat tiap nama ibukota negara di seluruh dunia yang pernah didengar.
Jael melonjak saat sesuatu melintas di pikiran. “Warsaw, Poland!”
Keringat dingin bercucur semakin deras dari dahi Sio. Detak jantung super kencang seolah ingin berlari keluar. Kepala terasa panas seiring kian tinggi usaha menguras pikiran.
“Masih ada satu jawaban lagi. Kalo Mas Sio gak buruan jawab, aku duluan.” Nada bicara datar Ara agak terdengar meremehkan.
Sudut bibir Sio memaksa terangkat. Memandang kanan-kiri bergantian, gelisah. “W … Wales.”
Yutha kesal. “Wales itu negara, bukan ibu kota!”
Ara memutar bola mata malas. Entah berapa lama waktu dibutuhkan lagi bila dia membiarkan Sio menjawab, lebih baik dia merebut poin. “Windoek, Namibia.”
Sio membuka mulut lebar. Ucapan Ara membuat memorinya bangkit. “Bener juga …. Baru inget.”
“Hukuman!” Jael langsung bangkit dari tempat duduk. Tanpa ragu menjitak dahi Sio, lantas tertawa kencang merasa puas. Tak peduli Sio merintih.
“Persiapkan dirimu, Bang.” Yutha meregangkan jari-jari. Bergaya bak langganan gym yang tangguh dan tak takut pada siapa pun. Usai mempersingkat jarak, jarinya mendarat di bawah rambut poni Sio.
Melihat pemuda itu kesakitan, Yutha bahagia. Bila bukan karena permainan ini, dia tak memiliki alasan untuk melukai Sio atas dalih kesopanan dan sejenisnya.
Giliran Ara mendekat. Senyum tipis gadis itu membuat Sio bergetar dari ujung kaki hingga rambut ubun-ubun. Khawatir gadis itu membalas dendam seluruh ujaran kebenciannya dengan jitakan sekuat tenaga. “Lakukan perlahan ….” Sio memelas.
“Aku gak akan menahan diri!” Ara sengaja memperpanas suasana.
Sio bersungut-sungut. “Dasar, Bocah Antartika!”
Yutha dan Jael bersorak bak supporter sepak bola menantikan gol dari tim andalannya. Ara lebih dulu mencoba membunyikan jari-jari dengan keras, seolah akan melakukan hal serupa atau bahkan lebih parah pada Sio.
Sio menutup mata erat sambil merintih sakit berbalut ngeri ketika membayangkannya. Semakin yakin Ara akan membalas semua dendam yang terakumulasi sejak keduanya pertama kali bertemu. Sekilas gadis itu terlihat cuek tiap kali Sio berkata kurang baik, tetapi dia yakin Ara pasti marah.
Sensasi sentuhan pelan terasa di dahi. Sio spontan membuka mata dan mendongak, memandang gadis yang berada sekian sentimeter darinya. Semua perasaan buruk sirna seketika.
Ara tersenyum sedikit lebih manis dari biasanya, lantas kembali duduk. “Ayo, lanjut!” Dia meletakkan tiga jari di atas meja.
Yutha dan Jael buru-buru meletakkan jari pula. Sementara Sio tak kunjung melepaskan tatapan lekat pada si adik termuda. Berselang sebentar, sudut bibir Sio mengembang lebar seraya mengeluarkan satu jari. “Ayo,” serunya lembut.