Orca and The Flower Ice

Adinda Amalia
Chapter #23

22 : Hasil Akhir dan Sementara

Juri dan panitia terlibat susah payah merahasiakan hasil olimpiade yang diselenggarakan Institut Seni Gala hingga hari ini datang. Tiap sekolah yang berpartisipasi, diundang dalam acara pembacaan juara.

Banyak siswa tak henti mengagumi gedung konser utama Institut Seni Gala bahkan setelah lebih dari dua puluh menit berada di sana. Kursi diatur bertingkat, tempat duduk disesuaikan menurut siswa dari sekolahnya masing-masing.

Seisi ruangan dominan oleh warna krem dan putih. Berpadu dengan sentuhan merah pada kursi serta karpet. Beberapa lampu menghias langit-langit. Arsitektur ukiran penuh gaya seni berkilauan, sebagai latar belakang panggung.

Layar proyektor memperjelas siapa yang sedang memberi sambutan. Dari cara bicara, sepertinya salah satu juri olimpiade.

Ara mengobservasi penghuni ruangan, ada dosen yang dia kenali—seseorang di ruang pelaksanaan olimpiade tempat Ara mengerjakan soal dulu. Satu-satunya yang terlihat muda di kursi baris depan terlihat tak asing, Sio.

Pembawa acara mengambil alih panggung. Agenda yang dinanti-nanti tiba. Pembacaan hasil olimpiade. Lagu tempo cepat diputar sebagai latar suara. Jantung ikut berdetak kencang. Detik demi detik berlalu seolah lebih lama. Semua gemas karena pembawa acara sengaja memperlambat bicara.

Sorak gembira dan helaan napas kecewa terdengar bersamaan ketika juara harapan tiap bidang diumumkan. Satu persatu naik ke panggung. Foto diambil ketika penyerahan hadiah.

Selanjutnya pembacaan juara tiga untuk masing-masing bidang. Dilanjutkan juara dua, kemudian juara pertama. Dari satu orang, menjadi banyak mulut menebak-nebak siapa sekiranya pantas mendapat hadiah utama.

Ara melirik kanan-kiri sebentar. Sejak tadi tak henti menghela, ingin segera kabur ke rumah dan bersantai di ruang tengah sambil mengelus bulu lembut kucing oranye-putih. Namun, segala alasan menahannya diam di kursi.

Ara tak ikut gelisah menanti siapa gerangan dipanggil. Lagipula, dia sudah mengira siapa peraih juara pertama, terutama untuk bidang akademik, astronomi.

“Juara pertama!” Pembaca acara menyeru tegas. “SMA Raya, Naura Arabella!”

Rekan-rekan dan guru bersorak paling keras. Tak ada halangan apa pun, Ara bangkit dari kursi. Merasa pantas dan selayaknya melangkah menaiki tangga, memasuki panggung, lantas berdiri di podium teratas.

Seorang dosen memberi piala setinggi satu meter, corak keemasan berkilau, logo Institut Seni Gala terukir jelas. Meski raut datar tak kunjung hilang, dalam batin Ara puas membaca namanya tertera di sana.

Institut Seni Gala tak tanggung memberi hadiah. Piala dapat diletakkan di sebelah Ara, sedangkan gadis itu perlu menerima sertifikat besar sebagai simbolisasi perolehan juara dan sejumlah uang tunai.

Pembawa acara mengatakan kotak besar—berhias lukisan batik sederhana, tetapi dengan nilai seni tinggi—di sisi kanan panggung juga hadiah untuk para juara.

SMA Raya membawa banyak siswa menghadiri acara, tak heran bila suara mereka nyaris membuat gedung runtuh. Tepuk tangan belum juga reda. Menyambut gembira keberadaan Ara di panggung.

Tanpa sengaja Ara melirik salah satu tamu di kursi terdepan. Si termuda, mahasiswa ISG yang familiar di mata gadis itu. Sio tak seheboh teman-teman sekolah Ara, tetapi binar-binarnya cukup menyiratkan bahwa dia sangat gembira.

Sio berteriak tanpa suara, meminta Ara tersenyum. 

Tak ada respons sama sekali dari gadis itu. Berselang sebentar, sudut bibir Ara terangkat. Bola mata bulat agak menyipit ketika dua pipi tembam mengembang.

Lihat selengkapnya