Sio asal meletakkan kresek camilan kantin di sembarang dekat pintu. Dia melangkah cepat mendekat. Mendorong Ara minggir dengan kasar, demi memandang nanar empat kanvas di lantai. Tumpahan cat menutup hampir seluruh lukisan.
Ara tak bisa menahan raut datar maupun dingin lebih lama lagi. Dia tahu pasti kekecewaan, kesal, campur sedih berusaha dipendam dalam-dalam oleh Sio. Ara merasa bersalah melihatnya. “Mas—”
“Keluar sekarang.” Sio susah payah membuat kesan lembut seperti biasa.
“Aku bakal beresin—”
“Cepat keluar!” Sio memejam erat saat meraih oktaf tertinggi pita suara. Membuang muka dari gadis itu, khawatir menunjukkan murka di depannya.
Sekian detik Ara mematung, memandang pemuda itu penuh arti. Kemudian menunduk dan melangkah pergi berat hati. Usai melewati pintu, dia berdiri menyandar dinding tepat di sebelahnya.
Di sisi lain, Sio tak bisa mengalihkan tatapan dari empat panel lukisan, meski kian lama, semakin mengekang dada. Api membara tak tertahan, dia asal menyepak kanvas di lain. Menghantam kaki meja, menimbulkan suara benturan.
Emosi terpancing. Insting mendorong Sio untuk tak tinggal diam. Dia berganti menendang meja lain. Dentuman dua benda bertubrukan menggeser sunyi ruang. Bangku-bangku menyenggol satu sama lain. Tatapan rapi berangsur berantakan.
Sio tak berteriak, memaki, ataupun menyalahkan segala hal. Hanya ada bunyi-bunyi barang jatuh menggema dari dalam ruang. Seiring berjalan waktu, menjadi bergemuruh, memekik telinga. Sudah cukup mewakili perasaannya.
Sisa cat dilempar ke sembarang arah. Warna-warni menciprat ke perlengkapan kelas, juga pakaiannya. Syukur lukisan mahasiswa lain aman dari amukan Sio—dia masih bisa mengendalikan diri untuk tak membuat masalah dengan teman.
Dari lima panel lukisan, tersisa satu kanvas bagian tengah yang aman. Bergambar batu besar tinggi, seekor murai kecil merengkuh, landak—setengah jadi, rajawali setengah bagian—sisanya ikut panel lain, dan satu rajawali lain terlukis utuh yang menoleh ke belakang.
Sio tak sepenuhnya berpikir jernih. Terlanjur muak, dia mengambil kanvas tersebut, lantas mematahkannya. Menimbulkan bunyi khas retakan yang menambah lara. Kemudian asal membuangnya ke lantai.
Deru napas tak karuan. Sio berkacak pinggang. Sorot tajam menyapu keadaan kelas berantakan karena ulahnya. Dia merasa bisa menghancurkan tempat ini lebih parah lagi, tetapi sadar tingkah itu sangat gila.
Emosi tak terkendali membuat pikirannya liar. Tersirat dari wajah yang tak karuan menyeramkan.
Di lorong kelas, Ben berjalan seraya bersenandung riang. Dua tangan membawa keripik dan botol minuman. Berjuang keras membuka pintu kelas dengan tangan penuh barang. “Sio—” Ben terbelalak mengetahui keadaan kelas dan satu-satunya pemuda berdiri di sana dengan aura gelap memancar.
Di saat bersamaan, Sio melangkah menuju pintu belakang kelas—tidak tahu ada Ben melihatnya—berlalu melewati Ara yang masih menyandar dinding. “Kita pulang.”
Ara tak lekang dari Sio yang menyusuri lorong lebih dulu. Berselang sebentar, Ara menyusul. Dia tanggap naik ke boncengan sepeda motor tanpa menunggu perintah.
Perjalanan dari kampus menuju rumah meletihkan batin. Sio sama sekali tak berbicara, seolah aurora abu-abu pekat bersinar di sekelilingnya. Situasi membuat Ara takut untuk buka suara.
Sio memarkirkan sepeda motor di halaman samping kediaman. Dia mendahului Ara memasuki rumah, seolah keberadaan adiknya sekadar angin lalu.
Ara menghela napas. Langkah tak bersemangat mendekati pintu masuk rumah. Sebelum sempat memutar knop, perhatian Ara teralihkan oleh samar-samar pembicaraan dua orang.
Ara mendekat ke sisi samping lain rumah. Kian mendekat ke sumber suara. Berusaha curi-curi dengar.
“Jangan sok tahu tentang Ara. Aku lah yang paling paham masa lalu Ara.”
Bola mata Ara membulat. Itu suara Orca. Ara mencondongkan tubuh ke samping, diam-diam mencari tahu siapa gerangan. Tak hanya Orca, ada Landi juga di sana.
“Gak ada bukti kalo kamu melihat masa lalu Ara.” Landi menggunakan intonasi lirih tiap kali ingin memojokkan Orca.
Orca agak mengerutkan alis. “Siapa bilang?”
“Aku mencari tahu.”
“Apa yang kamu tahu?” ujar Orca cepat.
Landi kian menganggap remeh ocehan tentang Orca yang mengetahui banyak hal terkait Ara. Lagipula, berdasarkan penjelasan Ram tadi, kecil kemungkinan Orca terlibat di kebakaran delapan tahun lalu.