Pembicaraan panjang nan serius mengalihkan perhatian empat pemuda, mereka tak sadar bahwa si adik terkecil, Ara, entah di mana.
Landi dan Yutha memperhatikan sekeliling. Tiada orang lagi selain mereka berempat, hanya kucing yang tidur melingkar di salah satu kursi meja makan.
Sio tertegun. Setengah tak percaya dengan keadaan. “Aku barusan pulang sama Bocah Antartika dari kampus.”
Terdengar bunyi pintu diketuk dan teriakan samar-samar lelaki. Merasa familiar, Yutha dan Jael beranjak guna melihat siapa datang.
Lelaki itu meletakkan kotak di dekat pintu. “Ini barang-barang, hadiah juara olimpiade … punya Ara.” Dia mengambil napas banyak-banyak usai memindah benda berat itu dari mobil di pinggir jalan. “Ngomong-ngomong mana Ara? Dia udah sampai, ‘kan? Aku lihat tadi dia montoran berdua sama kakaknya.”
Yutha menoleh ke belakang—arah Sio. Ucapan mereka berdua serupa. “A … ada kok, di dalam. Dia lagi istirahat, capek.” Yutha terkekeh. Masalah hilangnya Ara adalah urusan pribadi, temannya tak perlu tahu atau insiden ini akan kian membesar.
Lelaki itu tampak kecewa.
Tak kunjung pergi, Yutha lebih dulu mendorongkan kembali ke pinggir jalan. “Oh, makasih ya udah dibawain. Kamu buruan pulang aja atau nongkrong sana terserah.” Temannya masih bersikukuh, tetapi Yutha lebih unggul. Dia berhasil membuat temannya masuk ke mobil. Yutha tersenyum dan melambai. “Hati-hati.”
Kotak di dekat pintu menarik perhatian Jael, pasti banyak hadiah menyenangkan di dalamnya. Namun, ransel di sebelah kotak merampas ketertarikan lebih. Dia merasa tak asing. “Ini punya Ara?”
Sio menyusul ke ambang pintu. Dia mengangguk, juga keheranan. “Kenapa ditinggal di situ?”
“Jangan-jangan Ara ….” Landi mendadak terbersit kemungkinan terburuk yang terjadi. Membuat pening kepala terasa bak duri-duri tajam menusuk.
Di saat lainnya gusar dengan detak jantung yang seketika mengencang, Yutha bergegas pergi. “Aku tahu Ara ada di mana!”
***
Dari kecepatan tinggi, sepeda motor tiba-tiba berhenti di depan kedai. Suara decit gesekan antara rem, roda, dan tanah berlapis semen terdengar nyaring. Beberapa lelaki di kedai terkejut melihat kedatangan mendadak seseorang.
Yutha hanya mengangguk ketika salah satu dari mereka menyapa. Belum sempat meminta Yutha untuk bergabung di kedai, pemuda itu sudah pergi lebih dulu.
Yutha menyusuri lapangan sekolah dasar. Terus ke belakang hingga melewati pagar kayu yang ringkih.
“Ara!” Yutha bergegas mendekati gadis di atas ayunan kayu. “Aku tahu kamu pasti bakal ke sini.” Raut datar Ara tergantingan oleh murung, Yutha tak tega melihatnya. “Ayo pulang.”
“Aku bakal buat Mas Landi sama Orca berantem,” ujar Ara lirih. Tak terlihat ingin beranjak. “Aku gak mau mereka terluka.”
Kurang lebih Yutha paham. Diam-diam, dia kerap melihat interaksi buruk Landi dan Orca. Sering berbicara berdua, tatapan sinis satu sama lain, dan sebagainya. Tak ada alasan yang lebih masuk akal selain terkait Ara.
“Mas Yutha pulanglah. Aku gak mau kembali ke rumah,” ujar Ara lirih.
“Gak apa-apa, Ara.” Yutha terus meyakinkan. Tiada seorang pun yang akan menolak keberadaan gadis itu di rumah.
“Mas Sio juga marah … dia gak bakal suka lihat aku.” Sejak awal Ara datang, Sio langsung bersikap tak menyenangkan. Beberapa hari lalu memang Sio sedikit lebih halus padanya. Namun, masalah lukisan pagi tadi pasti tak akan selesai begitu saja. Ara tahu sendiri bahwa Sio marah besar.
Yutha teringat cerita Sio sekian menit lalu saat di rumah. Dia bilang, di masa lalu, Ara tidak menyukai orang lain. Gadis itu mungkin pernah beranggapan bahwa semua orang juga tidak menyukainya. Namun, itu tak akan pernah berlaku di rumah. “Siapa yang gak suka lihat Ara?”
“Semua.” Ara agak menunduk, membuat rambut poni menutup sebagian parasnya. “Aku juga gak suka semua orang.”
“Ara punya kita, ‘kan? Bang Landi, Bang Sio, Jael, dan aku!” Yutha merasa mereka keluar dari lingkaran orang-orang yang tidak disukai Ara.
“Kalian pasti takut.”
Yutha bungkam. Dia memang melihat Jael dan Sio sempat bergidik ngeri saat Landi menceritakan masa lalu Ara, bahwa gadis itu mengaku menciptakan api.