Kehidupan rumah berputar setengah lingkaran. Kakak-kakak Ara merubah hampir seluruh sikap mereka. Nyaris tak berani bercanda dengan Ara, hanya ada obrolan penting. Landi kerap kali menawari makanan, minuman, dan berbagai hal pada Ara, tetapi gadis itu menolak.
Bahkan Sio sangat baik pada Ara. Beberapa kali gadis itu sengaja memancing emosi Sio agar bisa berdebat seperti dulu, tetapi Sio tak mempermasalahkannya. Kini, Sio selalu mengalah.
Tak seorang pun mengganggu Ara, mereka cenderung membiarkan gadis itu melakukan segala hal sesuai keinginannya. Namun, hal ini membuat Ara merasa lepas dan sendirian.
Barusan Ara dikejutkan oleh Sio yang membuat cokelat hangat untuknya, lantas pemuda itu langsung pergi—bilang ingin mengerjakan sketsa.
Tak sengaja Ara menyenggol gelas dan membuat cokelat hangat tumpah seluruhnya, mengotori dapur. Sio menyahut dari ruang tengah, “Gak apa.” Dia berjalan mendekat. “Kamu naik, belajarlah. Aku yang bakal membersihkannya, sekalian bikin cokelat hangat baru buat kamu.”
Ara merasa segan. “Mas ….” Dia tak ingin melanjutkan kalimat ketika melihat Sio sudah sibuk mengambil lap untuk membersihkan tumpahan cokelat hangat.
Tak ada pilihan, Ara terpaksa naik ke lantai dua. Buku tergeletak begitu saja. Gadis itu duduk di sisi ranjang. Pikiran melayang hingga angkasa. Jangankan raut dingin, dia justru murung sejak beberapa hari lalu.
Berselang sebentar, pintu diketuk. Sio mengantar segelas cokelat hangat.
“Makasih.” Ara menerima hati-hati. “Tapi …,” dia menatap lekat pemuda di ambang pintu, “bikin gini doang lama banget.”
“La—lain kali aku bakal berusaha lebih cepat,” ujar Sio lirih. “Maaf … maaf juga karena ganggu.” Dia melambai kecil, lantas beranjak dan menuruni tangga.
Ara tertegun. Untuk sekian kalinya, dia gagal memancing perdebatan dengan Sio seperti dulu lagi. Memang menyebalkan saat melakukan itu, tetapi Ara sungguh merindukannya. Dia merasa bebas tiap kali mengutarakan beragam kata guna menjatuhkan Sio.
Sepertinya hal itu kini menjadi kenangan lama belaka.
Di hari-hari lain, Ara bisa konsentrasi penuh pada buku hingga melupakan cokelat hangat—sampai menjadi tak hangat lagi. Sekarang, saat suhu cokelat masih agak panas, dia sudah menghabiskannya.
Ara menuruni tangga, berniat meletakkan gelas di dapur. Perhatiannya agak teralihkan oleh Orca di ambang bawah tangga—dia pasti tak berani naik karena Landi melarang sejak dulu. “Ara, gimana belajarmu?”
“Biasa.” Ara berlalu begitu saja.
Orca terkejut akan reaksi Ara. Biasanya dia menjadi satu-satunya sosok yang masih mendapat sikap baik dari gadis itu, tetapi saat ini dia ikut terkena imbas. Orca segera menyusul. Dia bermaksud memuji, “Ara pasti langsung memahami semua materi—”
Ara mendadak pergi meninggalkannya, usai mencuci dan meletakkan gelas di rak.
Orca memperhatikan gadis itu baik-baik, Ara sempat memandang sayu nan penuh arti pada Jael yang berlatih basket di halaman belakang rumah. Kemudian menoleh pada tiga orang di ruang tengah, Yutha bawa buku di depan televisi, Landi menulis laporan, dan Sio membuat sketsa.
Meski tak terlihat, tetap terasa bila aura yang memancar dari semua orang terkesan gelap, tiada semangat sedikit pun.
Ara menghela, lantas kembali ke lantai dua.
Tersisa Orca yang masih tak henti memandang lima orang bergantian. Dia menggaruk rambut gusar. Tinggal di kediaman dengan para penghuni suram membuatnya tertekan.
Satu hal yang paling Orca tak suka dari keadaan saat ini, dia tak lagi dianggap istimewa oleh si gadis. “Mereka udah ngerebut posisiku di hadapan Ara!”
Orca kian tak tahan untuk tinggal diam. Dia bergegas pergi ke halaman belakang, menggandeng tangan Jael di sela latihan, lantas membawanya ke dalam rumah. Beberapa kali Jael memberontak, Orca tetap memaksa.
Penduduk ruang tengah menoleh pada Orca dan Jael yang baru datang, sesaat saja, kemudian kembali fokus pada kegiatan masing-masing. Tak tertarik, meski Orca mungkin ingin memulai permainan aneh.
Jael mendecak, lalu duduk di karpet ruang tengah sambil menonton televisi.
Melihat mereka berempat masih saja seperti orang tak memiliki motivasi hidup, Orca mendengus. “Kenapa sih kalian jadi kayak gini?” Orca makin gusar. “Lihat, Ara! Dia jadi kesepian lagi!”
Jael menunduk. “Aku gak pantes di sebelah Ara ….”
“Kenapa jadi lesu gitu sih? Bercanda sama Ara sana!” ujar Orca tegas. Dia memandang keempatnya bergantian. “Debat-debat gitu! Atau ngajak Ara ke tempat seru! Tanyain tentang sekolahnya!” Orca menggeleng keheranan. “Kenapa kalian gak melakukan itu lagi?”
Landi menghela. “Jael bener … kita gak pantes.”
Orca mengerang kesal. Muak sekaligus lelah. “Lagi-lagi aku, lagi-lagi aku! Kalian bisa apa sih sebenernya?” Orca menjeda, sengaja memberi waktu untuk mereka mengutarakan pendapat, tetapi tak terlihat ada seorang pun ingin bicara. Orca menunjuk ponsel di atas meja kecil—menggunakan dagu. “Coba deh tanya wanita itu! Dia maunya apa!”
Landi melirik Orca, jelas paham maksud lelaki itu. Dia beralih menatap adik-adiknya satu persatu. Tak ada protes dan Landi sendiri juga penasaran. Menelepon ibunya, Karin, bukan pilihan buruk juga.
Volume panggilan suara diatur kencang agar semua bisa mendengar. Telepon terhubung tak lama setelah Landi menekan tombol ‘call’. Karin bertanya ada apa, Landi basa-basi dengan mengatakan ingin mengobrol santai.