Farefall selalu terasa dingin bahkan sekalipun suhu udara meningkat drastis. Daerah di sebelah utara semenanjung Arsenia dikuasai oleh Lord Leinester yang berbatasan langsung dengan Pierreto, sebuah kerajaan es tempat penguasa terlarang bersemayam. Aku selalu senang mengunjungi Farefall betapun suramnya letak kota ini.
Lord Leinester merupakan salah seorang kepercayaan keluarga Ezerald. Berkat ketangguhannya dalam perang 500 hari di Utara membuat ia dinobatkan sebagai pemimpin perbatasan Utara dengan gelar Marquisse of Farefall. Perawakan Lord Leinester tidak sebaik gelarnya, dia bertubuh besar dan tinggi, hampir menyerupai gorila. Rambutnya terjuntai hingga bahu, berbalapan dengan janggut lebat hitam. Suara pria itu dalam dan sangat dingin, seolah kau bisa merasakan kekejaman perang yang sudah berlalu. Kulit Lord Leinester putih kemerahan seperti kepiting rebus. Tidak sedikit orang yang ketakutan kala berjumpa Lord Leinester pertama kali.
Tapi, dia lelaki yang baik jika mengenyampingkan perawakannya. Aku selalu senang agenda dongeng kisah pahlawan penakluk naga Pierreto yang dibawakan Lord Leinester. Tidak hanya diriku yang begitu mengagumi sosok Lord Leinester, melainkan saudara-saudara kandungku juga. Sudah hampir enam tahun kami tidak bertemu Lord Leinester. Di samping kegiatan dan tugas negara, kami juga disibukkan dengan pelatihan keamanan keluarga raja.
Aku dan ketiga saudaraku baru bisa menyambangi rumah Lord Leinester lagi setelah mengantongi izin dari Raja Arsenia — Ayah kami — yang kelewat susah dibujuk. Berkat kepiawaian diplomasi kakak keduaku, Theodore, Ayahanda memberikan restu pada keberangkatan kami menuju Farefall.
Kami menaiki kereta yang ditarik empat ekor kuda putih jantan. Guncangan tanpa jeda tak sekalipun menganggu fokus membaca kakak tertuaku yang memiliki mata sedalam lautan, Lucrius Arthurian Ezerald V. Ia duduk tenang sembari menyilangkan kakinya. Tipe lelaki serius yang selalu menjunjung kehormatan. Tapi Lucrius sangat menyayangi kami.
"Sierra, menurutmu apakah Lord Leinester masih ingat pada kita?" Arzea menatap mataku, sorot matanya mencerminkan rasa cemas berlebih. Si bungsu selalu menjadi yang paling panik diantara kami.
"Tidak akan. Kecuali kalau sebelum berkunjung kau nekat pergi ke Pierreto lalu kembali tanpa kaki dan lengan," kataku datar.
"Yang benar saja, Putri Sierra!" Si bungsu mencebik tak suka.
"Aku bertanya serius padamu!" lanjutnya menggebu.
"Dan aku juga menjawab dengan serius, Tuan Arzea yang terhormat."
Aku dan Arzea saling bertatapan sengit. Mataku berkobar menantang, sementara Arzea menahan diri supaya tidak menendangku. Hawa disekitar kami mulai memanas, benar-benar memanas secara harfiah. Bahkan para kuda mulai meringik.
Suara buku yang tertutup keras menyudahi pertengkaran itu. Lucrius menghela nafasnya, memandang kearah kami secara bergantian.
"Sekarang aku tahu kenapa Theon memilih berkuda bersama Rinstavi ketimbang duduk di kereta." Ia tersenyum setelah telak menyarkasi kedua adiknya. Arzea memalingkan muka acuh, tak peduli reaksi Lucrius atas sikap kurang sopannya tersebut.
"Setidaknya dengarkan Lucrius bicara." Ujarku tertuju kepada Arzea.
"Percuma saja kalau Kak Lucrius membelamu." Arzea menggedikan bahu.