Sudah setengah tahun Arzea meninggalkan Istana Archlongue guna menempuh pendidikan. Rasanya agak sepi tanpa percekcokan yang selalu kami lakukan tiap hari. Arzea pasti tengah sibuk mengembangkan berbagai macam mesin. Dia pintar, mampu menghapal cepat dan berpikir inovatif.
Selagi mengingat wajah geli Arzea yang melihatku sedih, senyum masam menghiasi bibir. Ia sempat mencela kesenduanku akibat keberangkatannya. Sungguh perilaku yang tidak ada manisnya sama sekali, dulu Arzea suka menangis jika aku tinggal pergi, beda dengan sekarang. Dia sudah tumbuh sebesar itu, ya.
Ketukan didaun pintu mengintrupsi pikiran pagi itu. "Masuk." Setelah mendengar titahku, seorang pelayan wanita datang tanpa berani bertatap mata. Ia memberikan salam kemudian memberitakan sesuatu.
"Tuan Putri, Duke Ezerald sudah datang."
"Antarkan kepadaku."
"Baik, Tuan Putri."
Tak sampai satu menit Duke Ezerald sudah memasuki ruanganku. Ia memberikan salam sebagaimana mestinya. Duke Ezerald mirip Ayahanda, namun dia lebih kecil dan ringkih. Kami tidak pernah mengalami perselisihan, hanya saja aku tidak bodoh untuk menyadari bahwa Aresnia membenci Ayahanda.
"Apa gerangan yang membuat Tuan Putri mengundangku?"
"Silakan duduk dulu, Duke Ezerald."
Aresnia duduk di depanku. Keenganan tercetak jelas dalam raut wajahnya, kepandaian dia tidak sampai pada kemampuan mengontrol emosi. Aku ingin sekali tertawa, tapi tata krama membatasi. Aresnia masihlah pamanku, dan dia seorang pangeran juga.
"Jadi?"
"Untuk ukuran Paman yang jarang sekali bertegur sapa, Anda sangat tak sabaran, ya." Kalimat itu menyulut emosi Aresnia. Tempramennya masih setinggi dulu ketika disenggol. Theodore harusnya melihat ekspresi Aresnia. Dia pasti akan tertawa sampai berguling-guling.
"Hahahaha, tidak juga Tuan Putri. Saya penasaran apa yang dibutuhkan Tuan Putri dari orang seperti saya."
Tanganku mengetuk meja secara berirama. Mencoba mengulur-ulur waktu sampai Aresnia mencapai puncak kesabarannya. Bukan tanpa alasan, aku ingin melihat sejauh mana kecerdikan Aresnia sampai bisa menyusun rencana tanpa terendus. Bahkan mata-mata terbaik dari pasukan Narium tidak bisa mencuri secuil informasi.
"Henduroz ... " jemari lentikku menari dipinggiran cangkir teh sementara manik madu keemasanku terus memperhatikan setiap inci ekspresi yang keluar dari Aresnia. Sudah kuduga dia terperanjat dan hampir saja menyeletukkan sesuatu.
"Ke-kenapa dengan negara itu?" Tanyanya seakan ia tak mengetahui apapun. Berlagak polos didepanku tidak akan pernah mempan. Aku sudah tahu semua kedoknya. Tinggal masalah waktu sampai dia dijebloskan ke jeruji besi.
"Henduroz negara kecil yang menentang Arsenia. Tidakkah menurut Paman kita harus menaklukannya sebelum mereka merencanakan sesuatu?"
"Jangan terlalu berambisi, Lady. Henduroz tidak menyinggung kerajaan Arsenia selama ini. Mereka juga tidak menguntungkan bagi negara karena wilayahnya sebatas pegunungan tandus."
Memang benar demikian. Kalau bukan karena laporan Lord Leinester saat kunjungan ke Farefall, aku tidak akan memberikan secuil perhatian ke Henduroz. Ketidaksukaan Ayahanda pun tak semerta-merta membuat Arsenia mendeklarasikan perang, apalagi Henduroz tahu kekuatan militer Arsenia mampu menghancurkan negaranya dengan mudah.