Perlahan kedua kelopak mataku terbuka, setitik cahaya samar-samar menyapa dari lelangit hitam penuh debu. Jarak pandangku masih kurang baik dan pening menyerang saat tubuh bangkit dari pembaringan.
Sekelilingku hanya tembok baja usang, berukuran kecil serta menyediakan toilet tertutup dan satu matras lapuk. Jeruji besi yang menghalangi kebebasan nampaknya sudah dilapisi oleh pembeku dari pengendali air, entah ada sihir atau tidak, aku belum bisa memastikannya.
Melihat penjaga dikedua sisi mengenakan jaket lumayan tebal, aku tahu kondisku bisa sangat parah kalau saja aku tidak terlahir sebagai keturunan Ezerald.
Baju putih kusut, perut keroncongan, dan tempat yang sempit. Semestinya orang akan meraung mendapati kemalangan yang menimpa, aku tidak begitu. Kenyataan bahwa tak ada belenggu yang mengikat membuatku bisa sedikit bernapas lega. Aku menekuk lutut, memeluknya erat. Letnan Muda Narium Oleander sekarang hanya tinggal nama. Kekuatan yang selalu dielukan masyarakat nampak tiada guna. Setidaknya saudaraku yang lain bisa selamat dan merebut kembali hak kami.
Kemudian, memori tumbangnya Ayahanda berkelebat dipikiran sehingga mengundang rasa sakit begitu dalam di kepala. Tanganku mencengkramnya kuat berharap rasa sakit itu hilang. Sesak sekali.
Ayahanda meninggal karena aku. Harusnya sampai titik darah penghabisan seorang Sierra tetap tegak seperti pilar hebat. Aku menggeram hebat. Perhatian kedua penjaga mulai teralih.
"Nona Sierra sudah bangun! Cepat laporkan pada Yang Mulia Aresnia!"
Wajahku mendongak, salah satu prajurit keluar terbirit menyaksikan geraman yang membuat atmosfer penjara semakin berat, menyisakan lelaki pendek bermanik hitam sendiri. Syukurlah cahaya matahari dari jendela atas menerangi tepat di mana pria itu berdiri. Dari tembok belakang, hanya butuh lima langkah sebelum mencapai pintu jeruji. Pemuda itu memperhatikan dalam diam, aku tidak peduli. Tapi orang ini membuat gerakan yang mengejutkan.
"Salam saya kepada Letnan Narium Oleander. Saya Anakin, wakil kapten divisi enam di pasukan Oleander."
"Tuan Putri, kami pasukan Narium yang tersisa akan segera membebaskan Putri." Tangannya terkepal erat. Anakin kah namanya? Aku pernah bertegur sapa sewaktu baru menduduki jabatan Letnan, meski hanya sekilas.
"... sudah berapa lama aku pingsan?"
"Enam hari."
"Saudaraku dan Ibunda, apakah mereka selamat?"
"Saya dengar Yang Mulia Putra Mahkota beserta Pangeran Theodore berhasil keluar dari istana dan menjemput Pangeran Arzea di Dettroi," katanya sepelan mungkin. Aku menunggu jawaban kondisi Ibunda, tapi dia malah ragu dan terjebak dalam kebingungan.
"Ibunda Ratu ditangkap juga ... "
Derapan suara langkah kaki memenuhi penjara, mungkin prajurit tadi sudah menyelesaikan pekerjaannya dan membawa beberapa orang untuk memeriksaku.
Obrolan antara aku dan Anakin berhenti. Dia kembali pada posisi dan memasang wajah datar seperti sebelum memberi salam padaku. Apakah masih ada harapan?
***
Anakin menjadi penjaga penjara, ia bertugas mengawasiku. Di saat rembulan mengintip, penjara itu hanya berisi kami berdu, meski secara teknis Anakin berjaga di depan jeruji besi yang aku tahu memiliki sihir pelindung. Anakin duduk bersila membelakangi jeruji. Aku penasaran apa yang ia pikirkan.
"Sir Anakin apa kau tidak apa-apa?"