Kasur empuk berwarna merah menampung tubuh letihku sejak setengah jam lalu. Selepas pengeksekusian, Ares melemparkanku kemari tanpa alasan yang jelas. Tidak ada penjaga menatap ataupun pelayan, hanya aku dan kesunyian ruangan. Kekuatanku masih tertahan berkat Liasa berjaga di ruang sebelah.
Pandangan mata yang kabur, memori mengerikan hilangnya nyawa orangtua, dan kenyataan bahwa aku kini berdiri sendirian merayapi otak. Tubuhku meringkuk, telapak tangan yang tremor menutup wajah. Aku menangis. Berteriak seperti orang gila memanggil nama-nama keluarga yang telah pergi. Rasanya ingin menghancurkan pengkhianat sesegera mungkin, menghanguskan mereka kedalam api dendamku.
Takhta! Takhta! Takhta! Kalau mereka tergila-gila dengan takhta, aku akan merebut dan menghancurkannya. Mengoyak apa yang didambakan selayaknya merobek kertas rapuh. Seperti mereka merenggut orang-orang terkasihku tanpa ragu. Tapi sekarang rasanya bukan waktu yang pas untuk termakan amarah. Mencari jalan keluar dari istana ini merupakan krisis dalam hidupku. Jika aku mati, maka Ares dipastikan merayakannya dengan senang hati. Membayangkan semua keinginan pria itu tercapai membuat kesal.
Aku menelentangkan tubuh di atas kasur sembari menatap langit. Entah bagaimana penampilanku kini karena baru saja aku melemparkan seluruh perabotan dan merobek gaunku sendiri sebelum menemui ketenangan. Terakhir kali bertemu kedua Kakakku, kami terlibat percekcokkan.
"Aku bahkan belum meminta maaf pada Theon," kataku lirih. "Penyesalan datang terakhir, huh? Aku tidak yakin bisa mati secara damai karena menanggung banyak penyesalan." Kuhela napas demi mendapatkan sejalur udara segar. Barangkali dengan begitu otakku bisa mendingin.
Selagi terpekur dalam diam, indra perabaku merasakan tetesan yang mengelilingi pergelangan tangan. Baunya lumayan anyir dan terus mengalir sampai membasahi kasur.
"Perih ... " keluhku tanpa tenaga dan enggan memeriksa. Mungkin pecahan perabotan tak sengaja mengoyak tangan kananku tadi.
Kelopak mataku mulai berat akibat keletihan fisik maupun mental atau mungkin malah karena kehilangan banyak darah. Hal tersebut cukup mengantarkanku pada buaian bunga tidur. Sekadar memanggil pelayan untuk membersihkan luka saja sudah tak kuasa lagi, apalagi mendobrak kabur. Aku bisa memikirkannya setelah energiku kembali.
Samar-samar mataku menangkap siluet seseorang tengah membungkuk diatasku. Aku bergumam, "siapa kau?" Kesadaran yang hanya bangkit setengah tidak mampu menjernihkan pandangan mengabur. Aku hanya bisa menerka dari surai kelabunya hingga jemari bercat kuku merah.
"Sebentar lagi kita akan bertemu, Nona. Kuharap kau lebih prihatin dengan keselamatanmu."
Cahaya putih berpendar dari sela tangan lelaki asing tersebut, ia menyentuh keningku dan setelahnya kesadaran tadi sirna tergantikan oleh ketenangan yang menyentuh jiwa. Siapa dia?
***
Kamar lamaku masih seperti dulu. Tidak berubah. Kecuali perabotan yang sempat aku hancurkan tanpa bersisa. Tadinya keadaan ruangan bernuansa terang ini kacau balau. Namun sekarang berubah rapi dan bersih. Saat mengecek tubuh, gaunku sudah berganti dengan stelan kemeja putih dan celana hitam.